Minggu, 11 Mei 2008

TENTANG FIKAR HOMESCHOOLING

Setiap anak mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Dan, setiap anak sedapat mungkin memperoleh pendidikan yang layak bagi diri mereka. Namun dalam pengalaman dilapangan menunjukan bahwasanya banyak anak mendapatkan pengalaman kurang menyenangkan selama bersekolah. Sebut saja, kasus Bullying, bentakan dan kekerasan dari guru bahkan pemasungan kreatifitas anak. Pengalaman-pengalaman yang kurang berkesan tersebut menimbulkan phobia terhadap sekolah (school phobia) bagi anak dan orang tua.
Kemudian, upaya penyeragaman kemampuan dan keterampilan semua anak untuk seluruh bidang turut mematikan minat dan bakat anak yang tentunya berbeda-beda, karena setiap anak adalah unik. Lebih jauh lagi, kurikulum yang terlalu padat dan tugas-tugas rumah yang menumpuk membuat kegiatan belajar menjadi suatu beban bagi sebagian anak. Melihat kondisi ini, maka perlu dicarikan solusi alternatif bagi anak-anak yang kurang cocok dengan sistem pendidikan formal, salah satu bentuknya adalah kegiatan homeschooling. Berdasarkan alasan inilah maka kami membangun komunitas sekolah yang disebut dengan fikarhomeschooling sebagai sebuah institusi pendidikan alternatif yang senantiasa memperhatikan hak anak atas pendidikan.

Kamis, 08 Mei 2008

SEPERTI APAKAH POTRET PENDIDIKAN KINI ?

Written by Ayah Edy

Saturday, 17 February 2007

Syahdan di tengah-tengah hutan belantara Sumatera berdirilah sebuah sekolah untuk para binatang dengan status “disamakan dengan manusia”, sekolah ini dikepalai oleh seorang manusia. Karena sekolah tersebut berstatus “disamakan”, maka tentu saja kurikulumnya juga harus mengikuti kurikulum yang sudah standar dan telah ditetapkan untuk manusia.

Kurikulum tersebut mewajibkan bahwa untuk bisa lulus dan mendapatkan ijazah ; setiap siswa harus berhasil pada lima mata pelajaran pokok dengan nilai minimal 8 pada masing-masing mata pelajaran.Adapun kelima mata pelajaran pokok tersebut adalah; Terbang, Berenang, Memanjat, Berlari dan Menyelam

Mengingat bahwa sekolah ini berstatus “Disamakan dengan manusia”, maka para binatang berharap kelak mereka dapat hidup lebih baik dari binatang lainya, sehingga berbondong-bondonglah berbagai jenis binatang mendaftarkan diri untuk bersekolah disana; mulai dari; Elang, Tupai, Bebek, Rusa dan Katak

Proses belajar mengajarpun akhirnya dimulai, terlihat bahwa beberapa jenis binatang sangat unggul dalam mata pelajaran tertentu; Elang sangat unggul dalam pelajaran terbang; dia memiliki kemampuan yang berada diatas binatang-binatang lainnya dalam hal melayang di udara, menukik, meliuk-liuk, menyambar hingga bertengger didahan sebuah pohon yang tertinggi.

Tupai sangat unggul dalam pelajaran memanjat; dia sangat pandai, lincah dan cekatan sekali dalam memanjat pohon, berpindah dari satu dahan ke dahan lainnya. Hingga mencapai puncak tertinggi pohon yang ada di hutan itu.

Sementara bebek terlihat sangat unggul dan piawai dalam pelajaran berenang, dengan gayanya yang khas ia berhasil menyebrangi dan mengitari kolam yang ada didalam hutan tersebut.

Rusa adalah murid yang luar biasa dalam pelajaran berlari; kecepatan larinya tak tertandingi oleh binatang lain yang bersekolah di sana. Larinya tidak hanya cepat melainkan sangat indah untuk dilihat.

Lain lagi dengan Katak, ia sangat unggul dalam pelajaran menyelam; dengan gaya berenangnya yang khas, katak dengan cepatnya masuk kedalam air dan kembali muncul diseberang kolam.

Begitulah pada mulanya mereka adalah murid-murid yang sangat unggul dan luar biasa dimata pelajaran tertentu. Namun ternyata kurikulum telah mewajibkan bahwa mereka harus meraih angka minimal 8 di semua mata pelajaran untuk bisa lulus dan mengantongi ijazah.

Inilah awal dari semua kekacauan.itu; Para binatang satu demi satu mulai mempelajari mata pelajaran lain yang tidak dikuasai dan bahkan tidak disukainya.

Burung elang mulai belajar cara memanjat, berlari, namun sayang sekali untuk pelajaran berenang dan menyelam meskipun telah berkali-kali dicobanya tetap saja ia gagal; dan bahkan suatu hari burung elang pernah pingsan kehabisan nafas saat pelajaran menyelam.

Tupaipun demikian; ia berkali-kali jatuh dari dahan yang tinggi saat ia mencoba terbang. Alhasil bukannya bisa terbang tapi tubuhnya malah penuh dengan luka dan memar disana-sini.

Lain lagi dengan bebek, ia masih bisa mengikuti pelajaran berlari meskipun sering ditertawakan karena lucunya, dan sedikit bisa terbang; tapi ia kelihatan hampir putus asa pada saat mengikuti pelajaran memanjat, berkali-kali dicobanya dan berkali-kali juga dia terjatuh, luka memar disana sini dan bulu-bulunya mulai rontok satu demi satu.

Demikian juga dengan binatang lainya; meskipun semua telah berusaha dengan susah payah untuk mempelajari mata pelajaran yang tidak dikuasainya, dari pagi hingga malam, namun tidak juga menampakkan hasil yang lebih baik.

Yang lebih menyedihkan adalah karena mereka terfokus untuk dapat berhasil di mata pelajaran yang tidak dikuasainya; perlahan-lahan Elang mulai kehilangan kemampuan terbangnya; tupai sudah mulai lupa cara memanjat, bebek sudah tidak dapat lagi berenang dengan baik, sebelah kakinya patah dan sirip kakinya robek-robek karena terlalu banyak berlatih memanjat. Katak juga tidak kuat lagi menyelam karena sering jatuh pada saat mencoba terbang dari satu dahan ke dahan lainnya. Dan yang paling malang adalah Rusa, ia sudah tidak lagi dapat berlari kencang, karena paru-parunya sering kemasukan air saat mengikuti pelajaran menyelam.

Akhirnya tak satupun murid berhasil lulus dari sekolah itu; dan yang sangat menyedihkan adalah merekapun mulai kehilangan kemampuan aslinya setelah keluar dari sekolah. Mereka tidak bisa lagi hidup dilingkungan dimana mereka dulu tinggal, ya.... kemampuan alami mereka telah terpangkas habis oleh kurikulum sekolah tersebut. Sehingga satu demi satu binatang-binatang itu mulai mati kelaparan karena tidak bisa lagi mencari makan dengan kemampuan unggul yang dimilikinya..

Tidakkah kita menyadari bahwa sistem persekolahan manusia yang ada saat inipun tidak jauh berbeda dengan sistem persekolahan binatang dalam kisah ini. Kurikulum sekolah telah memaksa anak-anak kita untuk menguasai semua mata pelajaran dan melupakan kemampuan unggul mereka masing-masing. Kurikulum dan sistem persekolahan telah memangkas kemampuan alami anak-anak kita untuk bisa berhasil dalam kehidupan menjadi anak yang hanya bisa menjawab soal-soal ujian.

Akankah nasib anak-anak kita kelak juga mirip dengan nasib para binatang yang ada disekolah tersebut?

Bila kita kaji lebih jauh produk dari sistem pendidikan kita saat ini bahkan jauh lebih menyeramkan dari apa yang digambarkan oleh fabel tersebut; bayangkan betapa para lulusan dari sekolah saat ini lebih banyak hanya menjadi pencari kerja dari pada pencipta lapangan kerja, betapa banyak para lulusan yang bekerja tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang digelutinya selama bertahun-tahun, sebuah pemborosan waktu, tenaga dan biaya. Betapa para lulusan sekolah tidak tahu akan dunia kerja yang akan dimasukinya, jangankan kemapuan keahlian, bahkan pengetahuan saja sangatlah pas-pasan, betapa hampir setiap siswa lanjutan atas dan perguruan tinggi jika ditanya apa kemampuan unggul mereka, hampir sebagian besar tidak mampu menjawab atau menjelaskannya.

Begitupun setelah mereka berhasil mendapatkan pekerjaan, berapa banyak dari mereka yang tidak memberikan unjuk kerja yang terbaik serta berapa banyak dari mereka yang merasa tidak bahagia dengan pekerjaanya. Belum lagi kita bicara tentang carut marut dunia pendidikan yang kerapkali dihiasi tidak hanya oleh tawuran pelajar melainkan juga tawuran mahasiswa. Luar biasa “Maha Siswa” julukan yang semestinya dapat dibanggakan dan begitu agung karena Mahasiswa adalah bukan siswa biasa melainkan siswa yang “Maha”. Namun nyatanya ya Tawuran juga.

Apa yang menjadi biang keladi dari kehancuran sistem pendidikan di negeri ini...?

Sistem yang tidak menghargai proses
Belajar adalah proses dari tidak bisa menjadi bisa. Hasil akhir adalah buah dari kerja setiap proses yang dilalui. Sayangnya proses ini sama sekali tidak dihargai; siswa tidak pernah dinilai seberapa keras dia berusaha melalui proses. Melainkan hanya semata-mata ditentukan oleh ujian akhir.
Sistem yang hanya mengajari anak untuk menhafal bukan belajar dalam arti sesunguhnya
Apa beda belajar dengan menghafal; Produk dari sebuah pembelajaran kemampuan atau keahlian yang dikuasai terus menerus. Contoh yang paling sederhana adalah pada saat anak belajar sepeda. Mulai dari tidak bisa menjadi bisa, dan setelah bisa ia akan bisa terus sepanjang masa. Sementara produk dari menghafal adalah ingatan jangka pendek yang dalam waktu singkat akan cepat dilupakan. Perbedaan lain bahwa belajar membutuhkan waktu lebih panjang sementara menghafal bisa dilakukan hanya dalam 1 malam saja. Padahal pada hakekatnya Manusia dianugrahi susunan otak yang paling tinggi derajadnya dibanding mahluk manapun didunia. Fungsi tertinggi dari otak manusia tersebut disebut sebagai cara berpikir tingkat tinggi atau HOT; yang direpresentasikan melalui kemampuan kreatif atau bebas mencipta serta berpikir analisis-logis; sementara fungsi menghafal hanyalah fungsi pelengkap. Keberhasilan seorang anak kelak bukan ditentukan oleh kemampuan hafalannya melainkan oleh kemampuan kreatif dan berpikir kritis analisis.
Sistem sekolah yang berfokus pada nilai
Nilai yang biasanya diwakili oleh angka-angka biasanya dianggap sebagai penentu hidup dan matinya seorang siswa. Begitu sakral dan gentingnya arti sebuah nilai pelajaran sehingga semua pihak mulai guru, orang tua dan anak akan merasa rasah dan stress jika melihat siswanya mendapat nilai rendah atau pada umumnya dibawah angka 6 (enam). Setiap orang dikondisikan untuk berlomba-lomba mencapai nilai yang tinggi dengan cara apapun tak perduli apakah si siswa terlihat setangah sekarat untuk mencapainya. Nyatanya toh dalam kehidupan nyata, nilai pelajaran yang begitu dianggung-anggungkan oleh sekolah tersebut tidak berperan banyak dalam menentukan sukses hidup seseorang. Dan lucunya sebagian besar kita dapati anak yang dulu saat masih bersekolah memiliki nilai pas-pasan atau bahkan hancur, justru lebih banyak meraih sukses dikehidupan nyata. Mari kita ingat-ingat kembali saat kita masih bersekolah dulu; betapa bangganya seseorang yang mendapat nilai tinggi dan betapa hinanya anak yang medapat nilai rendah; dan bahkan untuk mempertegas kehinaan ini, biasanya guru menggunakan tinta dengan warna yang lebih menyala dan mencolok mata. Sementara jika kita kaji lagi; apakah sesungguhnya representasi dari sebuah nilai yang diagung-agungkan disekolah itu...?Nilai sesungguhnya hanyalah representasi dari kemampuan siswa dalam “menghapal” pelajaran dan “subjektifitas” guru yang memberi nilai tersebut terhadap siswanya. Meskipun kerapkali guru menyangkalnya, cobalah anda ingat-ingat; berapa lama anda belajar untuk mendapatkan nilai tersebut; apakah 3 bulan...? 1 bulan..? atau cukup hanya semalam saja..? Kemudian coba ingat-ingat kembali, jika dulu saat bersekolah, ada diantara anda yang pernah bermasalah dengan salah seorang guru; apakah ini akan mempengaruhi nilai yang akan anda peroleh..? Jadi wajar saja; meskipun kita banyak memiliki orang “pintar” dengan nilai yang sangat tinggi; negeri ini masih tetap saja tertinggal jauh dari negara-negara maju. Karena pintarnya hanya pintar menghafal dan menjawab soal-soal ujian.
Sistem pendidikan yang Seragam-sama untuk setiap anak yang berbeda-beda
Siapapun sadar bahwa bila kita memiliki lebih dari 1 atau 2 orang anak; maka bisa dipastikan setiap anak akan berbeda-beda dalam berbagai hal. Andalah yang paling tahu perbedaan-perbedaanya. Namun sayangnya anak yang berbeda tersebut bila masuk kedalam sekolah akan diperlakukan secara sama, diproses secara sama dan diuji secara sama. Menurut hasil penelitian Ilmu Otak/Neoro Science jelas-jelas ditemukan bahwa satiap anak memiliki kelebihan dan sekaligus kelemahan dalam bidang yang berbeda-beda. Mulai dari Instingtif otak kiri dan kanan, Gaya Belajar dan Kecerdasan Beragam. Sementara sistem pendidikan seolah-oleh menutup mata terhadap perbedaan yang jelas dan nyata tersebut yakni dengan mengyelenggaraan sistem pendidikan yang sama dan seragam. Oleh karena dalam setiap akhir pembelajaran akan selalu ada anak-anak yang tidak bisa/berhasil menyesuaikan dengan sistem pendidikan yang seragam tersebut.
Sekolah adalah Institusi Pendidikan yang tidak pernah mendidik
Sekilas judul ini tampaknya membingungkan; tapi sesungguhnya inilah yang terjadi pada lembaga pendidikan kita.
Apa beda mendidik dengan mengajar...?

Ya.. tepat!, mendidik adalah proses membangun moral/prilaku atau karakter anak sementara mengajar adalah mengajari anak dari tidak tahu menjadi tahu dan dari tidak bisa menjadi bisa.

Produk dari pengajaran adalah terbangunnya cara berpikir kritis dan kreatif yang berhubungan dengan intelektual sementara produk dari pendidikan adalah terbangunnya prilaku/akhlak yang baik.

Ya..! memang betul dalam kurikulum ada mata pelajaran Agama, Moral Panca Sila, Civic dan sebagainya namun dalam aplikasinya disekolah guru hanya memberikan sebatas hafalan saja; bukan aplikasi dilapangan. Demikian juga ujiannya dibuat berbasiskan hafalan; seperti hafalan butir-butir Panca Sila dsb. Tidak berdasarkan aplikasi siswa dilapangan seperti praktek di panti-panti jompo; terjun menjadi tenaga sosial, dengan sistem penilaian yang berbasiskan aplikasi dan penilaian masyarakat (user base evaluation).

Jadi wajar saja jika anak-anak kita tidak pernah memiliki nilai moral yang tertanam kuat di dalam dirinya; melainkan hanya nilai moral yang melintas semalam saja dikepalanya dalam rangka untuk dapat menjawab soal-soal ujian besok paginya.




Last Updated ( Monday, 19 February 2007 )

NEGERI 1001 GELAR

Negeri 1001 Gelar

Written by Ayah Edy
Saturday, 17 February 2007
Hallo Sahabat Parenting dan Para orang tua yang berbahagia apa kabar.....? bertemu lagi dengan saya Ayah Edy dalam program kita “The Inspiration for Better Education”, Kali ini kita akan bicara tentang sebuah dongeng dari negeri 1001 gelar.
Gelar oh gelar.....tiada Tuhan selain Gelar...padahal orang-orang besar yang merubah peradaban dunia justru tiada bergelar.... tapi mengapa manusia begitu bangga dengan yang namanya gelar....Gelar ibarat sebuah nyawa dalam hidup, tanpa gelar sepertinya seseorang tak kan pernah bisa hidup, tapi mengapa justru mereka yang mengubah kehidupan dunia lebih banyak yang tidak bergelar.

Gelar oh gelar.....semuanya diukur dengan gelar....
Bahkan dalam semua aspek kehidupan, prestasi, kemampuan, isi kepala tidak lagi menjadi penting; jauh lebih penting memiliki gelar...dan jumlah gelar yang dimilikinya...

Gelar oh gelar...Tiada Tuhan Selain Gelar...... bahkan untuk mencari pasangan hidupun Di negeri ini gelar menjadi salah satu persyaratannya....

ya.... isi kepala dan nilai kemulian manusia hanya diukur sebatas gelar....

Anda tidak boleh masuk kesini jika tidak bergelar anu.... atau anda boleh mengikuti ini asalkan minimal bergelar anu, anda tidak boleh menjadi itu jika tidak memiliki gelar setinggi ini, begitulah isi sebuah aturan main di negeri 1001 gelar. Sehebat apapun prestasi anda dan sebesar apapun jasa anda; anda tak akan pernah naik peringkat jika anda tidak mau menambah jumlah gelar yang anda miliki saat ini...

Begitulah pembatasan-pembatasan yang telah dibuat di negeri 1001 gelar...

Gelar.... oh gelar.... Ya Gelar-gelar yang telah membuat sombong orang yang memilikinya, yang telah merendahkan orang yang tidak memilikinya; dan yang telah membuat para orang tua begitu khawatir akan anak-anaknya...

Hingga berduyun-duyunlah orang berebut gelar, ya... karena segalanya diukur berdasarkan gelar....Maka menyingkirlah segera wahai pemikir-pemikir hebat dan orang-orang berprestasi dinegeri itu jika anda tak bergelar....Bahkan yang tak kalah luar biasanya adalah, untuk menjalankan perintah Tuhan Yang Maha Agung sekalipun, mereka masih belum rela rasanya jika tidak menambahkan gelar setelah melaksanakannya....

Sungguh luar biasa...., Tiada Tuhan selain Gelar....; itulah semboyan yang paling terkenal di negeri 1001 gelar...

Untunglah dunia olah raga sejak dahulu tidak pernah ikut-ikutan untuk mendewa-dewakan gelar.....

Anda atau siapapun tanpa terkecuali boleh ikut ambil bagian dan unjuk gigi di dunia ini.... Tidak perduli apapun gelar anda, hanya prestasilah taruhannya; siapa yang tidak unggul dia akan segera diminta mundur.. tidak seperti di negeri 1001 gelar. Dunia olah raga adalah dunia prestasi yang dari waktu-kewaktu tidak pernah ada kemunduran; catatannya selalu bergerak maju.... Anda dinilai berdasarkan kemampuan bukan berdasarkan berapa tingginya gelar anda atau berapa banyaknya gelar yang mengiringi nama anda...

Begitulah kehidupan di negeri 1001 gelar....; negeri ini semakin hari semakin terpuruk.... karena negara harus menaggung beban yang demikian berat terhadap orang-orang yang tidak berprestasi tapi memiliki gelar yang berbaris mulai dari depan hingga dibelakang namanya.....

Bahkan yang jauh lebih memprihatinkan lagi ternyata bahwa sebagian besar masyarakat di negeri 1001 gelar sudah mulai lupa apa arti “Kemampuan Unggul”, Apa arti “Prestasi”; dan dari hasil temuan terakhir diketahui bahwa, didalam kamus besar bahasa, di negeri 1001 gelar, juga sudah tidak memuat lagi kata-kata seperti “Prestasi”, “Kemampuan”, “Kinerja”, “Keahlian” dan sejenisnya, melainkan telah diganti dengan rangkaian daftar panjang gelar-gelar lama yang sebagian telah di konversikan menjadi gelar-gelar baru yang semakin rumit dan membingungkan.

Begitulah Kisah di Negeri 1001 gelar, Sebuah Negeri yang pada akhirnya selalu diliputi oleh 1001 masalah dan 1001 bencana yang terus datang silih berganti....

Sungguh menakutkan; akhir sebuah cerita dari sebuah negeri yang menganut paham Tiada Tuhan selain Gelar....

Ah.... seandainya saja kita mau belajar dari negeri 1001 gelar ini, mungkin kita bisa lebih cepat sadar dan bertobat.................

Last Updated ( Thursday, 22 February 2007 )

KEKERASAN PADA ANAK

Written by Ayah Edy

Saturday, 17 February 2007
Hallo... Orang tua yang berbahagia dan sahabat parenting club apa khabarnya

Para orang tua yang berbahagia belakangan ini saya sungguh prihatin melihat kejadian-demi kejadian kekerasan orang tua kepada anak yang berhasil diliput dan ditayangkan oleh media televisi. Sebenarnya sangat sulit diterima oleh akal bahwa kita sebagai manusia bisa bertindak sekeji itu pada anak-anak yang usianya masih relatif dini.

Sungguh aneh tapi nyata; kata seorang teman bercerita pada saya; bahkan jika kita perhatikan binatang yang paling liar di hutan Afrika sekalipun tidak pernah ada yang menyiksa anaknya.

Namun demikian marilah kita mencoba untuk tidak saling menyalahkan; namun lebih berusaha untuk mencari jalan keluar yang terbaik. Mari kita gali fenomena ini dan mari kita kaji secara lebih ilmiah;



Para orang tua dan sahabat parenting yang berbahagia.....
Jika kita berbicara tentang bagaimana manusia bereaksi terhadap sesuatu maka itu artinya kita tak lepas untuk membicarakan tentang susunan dan fungsi kerja otak. Karena berdasarkan hasil riset otak; seluruh prilaku dan gerak-gerik seseorang seluruhnya dikendalikan oleh otaknya. Otak adalah Pusat Operasi dari setiap reaksi manusia baik yang disadari ataupun yang tidak disadarinya.



Sahabat Parenting mari kita tinjau lebih dalam lagi tentang otak kita;
Berdasarkan susunanannya; secara sederhana otak kita terbagi kedalam 3 tingkatan; Tingkatan pertama adalah otak reptil; yakni otak yang mengatur tentang fungsi-fungsi dasar kehidupan, oleh kerenanya otak ini sering juga disebut sebagai The Basic Insting; Fungsi utama dari otak reptil ini adalah untuk mengatur sistem otomatis yang ada ditubuh seperti suhu tubuh, detak jantung, sistem pernafasan, termasuk juga seluruh gerak reflek terhadap ancaman yang biasanya diwujudkan dalam bentuk penyerangan atau penghindaran.



Tingkatan kedua otak manusia adalah Otak Mamalia atau otak Korteks; Otak Mamalia ini mengatur fungsi memori dan sebagian besar fungsi-fungsi emosi baik positif maupun negatif. Fungsi kerja otak Mamalia ini terutama adalah sebagai alat sensor terhadap reaksi yang diterima oleh seseorang dari pihak lain baik yang bersifat ancaman atau kegembiraan.

Dan tingkatan yang ketiga adalah otak Neo Korteks atau otak Berpikir Tingkat tinggi; Otak ini menangani proses berpikir tingkat tinggi manusia baik berpikir kreatif ataupun berpikir logika.

Otak berpikir Tingkat Tinggi ini sesungguhnya adalah anugrah terbesar Tuhan pada manusia; Karena hanya manusialah yang memilikinya secara sempurna.



Otak berpikir ini terbaki menjadi Otak Kiri dan Otak Kanan, Otak kiri pada umumnya berfungsi sebagai berpikir Logika dan Otak Kanan berfungsi sebagai berpikir Kreatif.

Dengan kemampuan otak berpikir kreatif inilah maka manusia telah berhasil menciptakan peradaban yang semakin maju dari waktu kewaktu yang tidak tertandingi oleh mahluk lain yang ada dimuka bumi ini; dan dengan berpikir logika manusia akan dapat menganalisis keputusan-keputusan yang tepat untuk pemecahan berbagai masalah yang dihadapinya.

Mahluk lain yang tidak memiliki otak ini; tidak pernah bisa berpikir kreatif, sehingga jika kita perhatikan dari abad-keabad dunia binatang tidak pernah mengalami kemajuan peradaban bahkan ditingkat Primata sekalipun.



Sahabat Parenting lalu apa hubungannya dengan tindak kekerasan orang tua pada anaknya...?

Begini ceritanya; Mari kita bayangkan.... Lapis pertama otak kita adalah otak Reptil memiliki fungsi reaktif menghindar, bertahan dan menyerang. Lapis kedua otak kita adalah otak Mamalia; Fungsinya adalah sebagai sensor apakah kita akan mengaktifkan otak Reptil atau Otak berpikir kita; Jika ternyata otak Mamalia mengkatifkan otak Reptil maka reaksi-reaksi yang muncul tentu juga mirip dengan reaksi seekor binatang reptil; dan apa bila otak Mamalia kita mengaktifkan otak Berpikir maka reaksi-reaksi yang muncul adalah reaksi logis dan penuh kehati-hatian.



Setiap hari dalam setiap kejadian otak Mamalia kita terus melakukan sensor dengan menterjemahkan apakah ini sebagai ancaman atau kesenangan; apa bila kejadian tersebut bersifat ancaman dan telah membuat otak mamalia tertekan maka otak ini akan segera memerintahkan otak Reptil untuk aktif dan mengambil kendali lebih lanjut dalam bentuk prilaku-prilaku kekerasan namun apa bila kejadian tersebut membuat otak mamalia merasa senang maka ia akan segera memerintahkan otak berpikir untuk aktif.

Dan perlu anda ketahui bahwa antara Otak Reptil dan Otak Berpikir Logis tidak pernah aktif secara bersamaan; melainkan satu sama lain saling bergantian; Itulah sebabnya apa bila kita habis melakukan tindakan kekerasan sesudahnya pasti kita akan menyesalinya. Itu artinya pada saat anda melakukan kekerasan anda sedang mengkatifkan otak reptil dan pada saat anda menyesalinya berarti otak yang aktif telah berpindah ke otak Berpikir Tingkat Tinggi.

Jadi para orang tua yang cenderung melakukan kekerasan pada anak pada hakikatnya adalah orang tua yang sensor otak mamalianya terlatih untuk cenderung mengaktifkan otak reptilnya.

Para orang tua yang berbahagia...


Ada dua sebab utama mengapa seseorang cenderung mengaktifkan otak reptilnya dalam bereaksi terhadap prilaku anaknya;

Adalah pola didik yang diterapkan oleh orang tuanya dulu; Jika orang tua kita dulu keras terhadap kita, maka kita akan punya kecenderungan keras terhadap anak kita. Begitu pula jika dulu orang tua kita sering memukul; maka kitapun punya kecenderungan kuat untuk memukul anak kita.
Cara kita menanggapi situasi; akan sangat menentukan otak mana yang akan bekerja aktif; Misalnya, Jika ada prilaku anak kita yang kebetulan tidak sesuai dengan keinginan kita itu diterjemahkan sebagai suatu perlawanan, pembangkangan, kenakalan atau ketidak disiplinan. Maka hasil terjemahan ini akan membuat kita kesal, dan jika ini terus terjadi berulang-ulang maka kita akan segera naik pitam, pada kondisi ini kita punya kecenderungan kuat untuk memicu aktifnya otak reptil.
Namun jika sikap anak yang tidak sesuai dengan keinginan kita tadi diterjemahkan sebagai sebuah komunikasi yang sedang dilakukannya kepada orang tuanya bahwa cara yang mendidik yang diterapkan tidak cocok dengan dirinya secara pribadi; maka anda tidak jadi kesal malainkan malah mencoba mengkoreksi atau mengevaluasi diri untuk bisa berbuat lebih baik.

Smart Listener...untuk lebih jelasnya anda bisa menyimak; cerita saya tentang mendidik tanpa kekerasan; yang mengisahkan bagaimana Orang Tua DR Arun Gandhi (anak dari Mahatma Gandhi), menterjemahkan setiap prilaku buruk anaknya, sebagai evaluasi diri dari prilaku dirinya........ Kisahnya sungguh sangat menginspirasi saya secara pribadi....



Sahabat Parenting....Lalu bagaimana solusinya......?



Mari kita bicara sedikit mengenai solusi untuk pola didik orang tua kita dimasa lalu.....?
Smart Listener yang berbahagia .....Saya juga dulu juga pernah mengalami cara mendidik yang kurang cocok dengan diri saya pribadi; marilah kita maklumi dan maafkan orang tua kita agar kita tidak meneruskan tradisi ini pada anak kita. Sejak dulu tidak pernah ada sekolah tentang cara menjadi orang tua yang baik dan mungkin dulu orang tua kita juga telah mengalami kekerasan yang sama dari orang tuanya dan tidak pernah ada yang memberitahukan solusinya seperti kita saat ini,


Smart Listener......Jika bukan kita sekarang.... lalu siapa lagi yang akan menghentikan tradisi turun-temurun ini...? Nah....Sekarang mari kita berbicara tentang solusi cara kita menanggapi prilaku negatif anak kita.



Sahabat Parenting pernah datang kepada saya seorang Bapak yang mengaku kewalahan terhadap prilaku anaknya dan dia mengaku sudah mulai menggunakan cara-cara kekerasan untuk mengendalikannya; namun ternyata prilakunya malah semakin menjadi-jadi.

Wah....dalam hati saya tersenyum....kalo ini sepertinya Reptil Besar telah berhadapan dan bertarung dengan reptil yang lebih kecil namun sama kerasnya.



Smart Listener.... Lalu saya ceritakan hasil sebuah penelitian tentang ciri-ciri umum prilaku anak kepada si Bapak tadi; Saya jelasakan bahwa sesungguhnya setiap anak punya prilaku yang berbeda satu dengan lainnya dan bisa dikategorikan kedalam beberapa kelompok;

Ternyata bahwa setiap prilaku anak yang ditunjukan pada kita sesungguhnya merupakan petunjuk-petunjuk dari Tuhan yang berhubungan dengan; Keunggulan dirinya, Kecerdasan yang dimilikinya, Profesi dan peluang keberhasilan yang akan dicapai dimasa depannya kelak.

Wow....! Sungguh kaget luar biasa si Bapak ini mendengar penjelasan dari saya.....Bahkan saya ingat betul ia sempat mengkaitkan pejelasan saya dengan sebuah pesan Tuhan yang lebih kurang berbunyi; “Bahwa susungguhnya Tuhan tiada pernah menciptakan sesuatu secara sia-sia”

Sahabat Parenting..... Sungguh saya sudah mempelajarinya dan memperhatikan setiap hari prilaku anak-anak saya. Dan ternyata salah satu prilaku anak yang dikeluhkan oleh sibapak tadi juga dimiliki oleh anak saya;



Saya ceritakan bahwa anak saya yang berusia 2 tahun lebih juga telah menunjukkan prilaku yang serupa...



Anak saya memiliki ciri-ciri prilaku yang mirip dengan anak sibapak tadi; keras; tidak mau kalah, suka memaksa, Suka mengatur sampai bahkan kita orang tuanyapun terkadang sering diaturnya, Tidak sabaran, Ingin disegerakan, suka memukul, teriakannya kerasnya luar biasa, tidak pernah bisa duduk diam, selalu melompat sana-sini, dsb.... Begitulah saya katakan ciri kelompok kedua dari Prilaku Umum Anak. Sebernarnya apa dibalik semua prilaku yang sering kali selalu kita konotasikan sebagai sesuatu yang negatif itu.....

Last Updated ( Monday, 19 February 2007 )

MEJA KAYU

Written by Ayah Edy

Tuesday, 08 May 2007
Suatu ketika, seorang kakek yang sudah sangat tua harus tinggal bersama dirumah anaknya. Selain itu, tinggal pula menantu, dan cucunya yang berusia 6 tahun. Tangan orangtua ini sudah begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannyapun sudah sangat buram, dan berjalannyapun sudah tertatih-tatih. Keluarga ini biasa makan bersama di ruang makan. Namun, sang kakek yang sudah pikun ini sering mengacaukan segalanya. Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun, membuatnya susah untuk menyantap makanan.

Suatu ketika, seorang kakek yang sudah sangat tua harus tinggal bersama dirumah anaknya. Selain itu, tinggal pula menantu, dan cucunya yang berusia

6 tahun. Tangan orangtua ini sudah begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannyapun sudah sangat buram, dan berjalannyapun sudah tertatih-tatih. Keluarga ini biasa makan bersama di ruang makan. Namun, sang kakek yang sudah pikun ini sering mengacaukan segalanya. Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun, membuatnya susah untuk menyantap makanan.

Sendok dan garpu kerap jatuh. Saat si orangtua ini meraih gelas, segera saja air yang ada didalamnya tumpah membasahi taplak meja makan.

Anak dan menantunya pun menjadi gusar. Mereka merasa direpotkan dengan semua ini. "Kita harus lakukan sesuatu, " ujar sang Istri. "Aku sudah bosan membereskan semuanya untuk orang tua ini." Lalu, kedua suami-istri ini pun sepakat untuk membuatkan sebuah meja kecil di sudut ruangan. Disana, sang kakek akan duduk untuk makan sendirian, saat semuanya menyantap makanan.

Karena sering memecahkan piring, anak dan menantunya juga sepakat untuk memberikan mangkuk kayu untuk si Kakek tua ini. Saat keluarga itu sibuk dengan makan malam, mereka sering mendengar isak tangis sang kakek dari sudut ruangan. Terlihat juga airmata yang tampak mengalir dari gurat keriput mata si kakek tua itu. Akan tetapi, hal ini sama sekali tidak menyentuh hati anak dan manantunya, malah selalu saja, kata yang keluar dari anak dan menantunya ini adalah omelan agar ia tak menjatuhkan makanan lagi.

Cucu si kakek tua yang baru berusia 6 tahun ini sering dibuat tertegun memandangi semua perlakuan orangtuanya. Sampai pada suatu malam, ayah sianak ini tanpa sengaja melihat anaknya yang sedang bermain dengan peralatan kayu.

Dengan lembut ditanyalah anak itu. " Sayang Kamu sedang membuat apa …?".

Lalu dengan lugunya anak ini menjawab, "Aku sedang membuat meja kayu untuk makan ayah dan ibu nanti kelak kalo aku sudah besar.

Meja itu nanti akan kuletakkan di sudut sana, dekat tempat kakek biasa makan." Sambil tersenyum anak itu segera melanjutkan permainannya. Sungguh jawaban anak ini telah membuat kedua orangtuanya sangat terpukul. Suara mereka tiba-tiba berubah menjadi parau; Mulut mereka terkunci rapat; dan tak mampu berkata-kata lagi. Lalu, perlahan-lahan airmatapun mulai menitik membasahi kedua pipi suami istri ini. Walau tak ada kata-kata yang terucap, tapi mereka kini benar-benar telah menyadari, ada sesuatu yang salah yang telah mereka lakukan pada orang tua mereka. Maka pada malam itu juga, mereka menuntun tangan orangtunya untuk kembali makan bersama di meja makan. Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh, makanan yang tumpah atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa makan bersama lagi di meja utama dengan bahagia.

Para orang tua yang berbahagia dimanapun anda berada, anak-anak kita adalah cermin dari prilaku kita sehari-hari. Mata mereka akan selalu mengamati, telinga mereka akan selalu menyimak, dan pikiran mereka akan selalu mencerna setiap hal yang kita lakukan. Mereka adalah pembelajar yang luar biasa.

Jika mereka melihat kita memperlakukan orang lain dengan sopan, hal itu pula yang akan dilakukan oleh mereka saat dewasa kelak. Begitu pula sebaliknya; jika mereka melihat kita memperlakukan orang lain dengan buruk hal itupulalah yang akan dia lakukan kelak saat dewasa. Mari, kita selalu mengevaluasi setiap kebiasaan dan prilaku kita sebagai tabungan berharga yang kita simpan dalam diri anak-anak kita, sebagai bekal kelak pada saat mereka dewasa.

Last Updated ( Tuesday, 08 May 2007 )

PERMEN

Written by Ayah Edy

Tuesday, 08 May 2007
Suatu hari ada seorang ibu membawa anaknya yang kira-kira berusia 4 tahun untuk menghadiri sebuah pesta ulang tahun temannya; pestanya berlangsung sangat meriah; namun si orang ibu ini terus mengkomplain anaknya yang katanya tidak berani tampil dan pemalu.

Setiap diadakan perlombaan selalu ia mendorong-dorong anaknya untuk ikutan; namun sianak tetap saja enggan untuk ikut. Kalapun terpaksa ikut anak ini kerap kali selalu kalah atau berada pada urutan terakhir dari perlombaan.



Si ibu yang penuh ambisi ini sepertinya merasa kecewa dengan tingkah laku anaknya yang demikian. Lalu dia menceritakan betapa hebatnya ia waktu masih seusia anaknya dulu. Ia bercerita bahwa dulu dirinya selalu berani mengikuti lomba; ia juga selalu menang dalam setiap perlombaan. Dia terus saja bercerita; dan terus membandingkan kehebatan dirinya dengan anaknya.

Sampai akhirnya pestapun usai; pada saat hendak pulang tiba-tiba si tuan rumah menghampirinya….Hallo sayang.... terima kasih ya telah hadir diacara kami.... oh iya.... ini sebelum pulang kamu boleh ambil permen ini ayo silahkan ambil; ambilah dengan kedua tanganmu agar kamu dapat banyak. Namun si anak diam saja sambil menatap pemen itu. Si orang tua mulai gusar dan meminta anaknya untuk mengambil permen dengan kedua tangannya; namun kembali si anak tetap diam sambil menatap permen-permen itu. Sampai akhirnya si tuan rumah mengambilkan permen itu dengan tangannya sendiri.

Sesampainya dirumah siorang tua kecewa dan mengeluh sambil mengomel; dia berkata begini; Dasar kamu ini ya...., Cuma diminta ambil permen saja kok ya tidak berani; mau jadi apa kamu nanti; namun diluar dugaannya anaknya tiba-tiba menjawab; aku bukan tidak berani mengambil mami tapi aku ingin mendapatkan permannya lebih banyak; tangankukan kecil sedangkan tangan Tante tadikan jauh lebih besar; jadi aku tunggu saja biar dia yang mengambilkan untukku.

Begitulah kita para orang tua sering kali menghakimi anak kita dengan asumsi dan presepsi-presepsi kita yang sering kali sangat dangkal, padahal dibalik semua prilaku anak kita sering kali terdapat alasan yang luar biasa hebat dan kritisnya yang terkadang membuat kita berdecak kagum; Kok bisa ya anak sekecil ini berpikir sekritis itu......

Mari kita berhenti untuk menghakimi anak-anak kita...; melainkan tanyalah mengapa mereka melakukan ini atau melakukan itu.... kelak anda akan dibuat terkagum-kagum oleh jawaban si kecil anda...

ANAK BERMASALAH

Written by Ayah Edy

Friday, 11 May 2007
Dalam profesi saya sebagai seorang konsultan pendidikan anak, saya sering dibuat bingung oleh keluhan orang tua terhadap anaknya yang dikatakan bermasalah;



Satu hari datang orang tua yang mengeluh yang katanya anaknya keras, sulit diberitahu dan sering membantah. Kemaunya luar biasa keras dan ingin selalu dituruti dan anak ini luar biasa PD-nya, bahkan cenderung over PD bagitu kata orang tuanya mengeluh..



Namun suatu kali juga saya pernah kedatangan orang tua yang mengeluhkan anaknya katanya tidak punya kemauan, pendiriannya mudah goyah, mudah terpengaruh, kurang percaya diri, dan sangat pemalu. Sampai-sampai si ibu bingung harus bagaimana...? karena setiap kali ditanya jawabnya selalu terserah mama.... terserah mama dan terserah mama sajalah....

Ada lagi lainnya yang juga mengeluh karena anaknya tidak mau diam, selalu ingin bergerak kasana dan kesini, tidak bisa duduk tenang maunya lompat dan bermain terus sepanjang hari....sampai-sampai mamanya merasa malu dengan para tetangganya.

Sebaliknya ada pula yang datang mengeluhkan anaknya yang katanya terlalu pasif, lebih banyak diam, menyendiri dan jarang sekali bicara. Kurang komunikatif dan hampir tidak memiliki energi hidup...

Para orang tua ini sama-sama beragapan bahwa anaknya bermasalah; Coba kita amati lebih jeli lagi; Orang tua yang dikarunia anak yang berpendirian keras ingin anaknya lembut, Sementara orang tua yang dikarunai anak lembut ingin anaknya lebih punya pendirian yang keras.

Orang tua yang memiliki anak yang selalu bergerak ingin anaknya diam, sementara orang tua yang memiliki anak yang diam, dianggapnya pasif dan ingin anaknya lebih banyak bergerak........menurut anda kita atau anak kita yang sebenarnya lebih memerlukan terapi dalam hal ini...?

Anak yang berfikir dengan Otak Kanannya

Written by Ayah Edy

Tuesday, 25 September 2007
Anak yang berpikir dengan Otak Kanannya


Suatu hari saya membaca sebuah proses penyuluhan melalui media; terhadap orang tua yang mananyakan kelainan dan keterlambatan belajar anaknya yang ciri-cirinya persis seperti anak yang cenderung dominan menggunakan otak kanannya;
Saya begitu prihatin karena ternyata banyak pembimbing yang masih belum mengetahui permasalahan ini; dan bahkan cenderung untuk memberikan nasehat yang menurut saya mungkin malah membuat hati orang tuanya semakin gelisah dan khawatir...





Mari kita dengarkan cuplikan nasehat yang diberikannya;


Bila diperhatikan perkembangan motorik putra ibu sepertinya agak terlambat, berjalan diusia 1 tahun 10 bulan dan bicara baru lancar di usia 4 tahun, jika terkadang jawaban yang diberikan tidak sesuai topik pembicaraan mungkin saja benar bahwa tingkat kecerdasannya tergolong dibawah rata-rata namun saya belum bisa memastikan masuk kategori apa. Jika Sampai saat ini dia belum lancar membaca juga menulis dan lebih suka mengeja menunjukkan putra ibu memerlukan waktu yang lebih lama dari anak-anak yang kecerdasannya tergolong rata-rata atau di atas rata-rata. begitulah kira-kira cuplikan utamanya........

Sungguh ibu manapun akan merasa terpukul hatinya mendengarkan penjelasan yang semacam ini, begitulah sejak dulu hingga kini anak-anak kita telah dengan gampangnya di golong-golongkan, menjadi anak diatas rata-rata, Rata-rata dan dibawah rata-rata. Peristiwa di zaman Thomas Alva Edison terulang kembali di zaman ini....

Sementara menurut Laurie Parson dan Jeffrey Fred seorang terapis untuk anak dengan gejala semacam ini justru menemukan hal yang berbeda sama sekali. Begini katanya;

Setiap keterlambatan proses perkembangan motorik anak umumnya lebih disebabkan oleh dua hal; yang pertama pola asuh orang tua yang kurang memberikan kebebasan pada anaknya untuk melakukan aktivitas yang bervariasi dan yang kedua karena tipe belajarnya visual jadi sama sekali tidak ada kaitan dengan kecerdasan. Bahkan sering terjadi keterlambatan di motorik ini diimbangi oleh kekuatan berpikir di otak kanannya yang luar biasa.

Sedangkan kemampuan bicara yang terlambat, tidak lancar dan menjawab tidak sesuai dengan topiknya, itu lebih cocok dengan ciri-ciri anak yang berpikir dengan otak kanannya; dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan kecerdasannya. Pelajarilah kembali hasil temuan Bruce Perry mengenai perbedaan cara bekerja otak kiri dan otak kanan anak kita

Semua keterlambatan yang terjadi pada anak otak kanan lebih disebabkan pada pola belajarnya yang berbeda dengan anak otak kiri. Dalam belajar, anak otak kanan perlu merekam dahulu sebelum melakukan eksekusi persoalan, dan proses perekaman itu pada tahap awal memerlukan waktu sekitar 10 detik dan jika sudah terbiasa waktunya hanya 1 atau 2 detik saja, sementara anak dengan dominan otak kiri langsung mengeksekusi baru kemudian merekam.

Ciri-ciri ini pernah terjadi pada Albert Einstain dan Leonardo Da Vinci, bahkan sejarah pernah mencatat bahwa sampai usia dewasa Da Vinci masih sulit untuk menghapal Alphabet.

Mari kita belajar dari sejarah dan perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu pesatnya, agar kita tidak melakukan kesalahan yang mungkin akan berakibat fatal bagi anak-anak kita.







Last Updated ( Tuesday, 25 September 2007 )

BERMAIN ADALAH BELAJAR

Written by Ayah Edy

Friday, 10 August 2007
Suatu hari datang seorang ibu berkonsultasi kepada saya meminta untuk dipilihkan sekolah yang cocok untuk anaknya.... Lalu saya merekomendasikan salah satu sekolah yang telah menjalankan konsep-konsep yang saya sampaikan.


Namun minggu depannya ibu yang sama tadi datang lagi...; kali ini dia komentar begini; Ayah....yang benar saja anak saya kok direkomendasikan sekolah disana...? Saya kaget; memangnya ada apa bu.....? Itu lho....lah wong gedungnya itu jelek banget dan ditengah kampung; malah masih lebih bagus SD Impres. Lalu saya jelaskan panjang lebar dengan kesimpulannya kira-kira seperti ini; Sesungguhnya hanya orang tualah yang menilai bagusnya sekolah dari bagus gedungnya; tapi anak kita justru lebih mementingkan guru-guru dan cara belajarnya, apakah guru-gurunya tulus dan benar-benar mencintai anak; dan apakah proses belajarnya sesuai dengan kodrat penciptaan mereka. Saya katakan padanya; jika ibu tidak keberatan ibu coba dulu program try outnya jika anak ibu cocok sebaiknya memang ia bersekolah disana.

1 bulan kemudian ibu yang sama tadi datang lagi kepada saya; kali ini ia kelihatan begitu gelisah; Ibu itu berkata seperti ini.... Ayah..... saya bingung mengapa anak saya kalo saya tanya tadi belajar apa....?, jawabannya selalu katanya tadi ia asyik bermain ini dan bermain itu....? Lalu bagaimana ini; apa gak berbahaya....? Ayah gak sedang bercanda kan ya...? katanya serius.

Sambil tersenyum saya berkata; saya serius ibu saya sama sekali tidak bercanda; Sesungguhnya cara belajar yang terbaik bagi anak adalah sambil bermain; guru-guru disana memang saya minta untuk membahasakan belajar itu dengan bermain, karena sudah banyak anak-anak yang trauma dengan Kata Belajar. Dengan demikian setiap anak-anak akan selalu antusias pergi kesekolah karena dibenaknya mereka akan bermain bersama teman-temanya.

Nah disinilah tugas beratnya bagi para guru-guru disana; bagaimana ia bisa menyisipkan mata pelajaran dalam setiap permainan-permainan yang dibuatnya. Sehingga sianak sama sekali tidak sadar jika sesungguhnya mereka sedang belajar; dan dengan cara ini sianak tidak hanya happy, melainkan juga bisa menyerap pelajaran hingga di atas 90%; ya karena hati mereka senang. Coba perhatikan apakah setiap pagi anak ibu antusias bangun...? ya jawabnya. Tidak pernah alasan pusing-pusing atau sakit perut....ya jawabnya lagi... dan masih tetap antusias setelah pulang sekolah....? Ya betul....bahkan ia sering menceritakan para gurunya dan apa yang dipelajarinya tadi.... Nah kata saya lagi ...itulah sesungguhnya ciri-ciri sekolah yang baik dan cocok untuk anak ibu....

Lalu saya tanya lagi....? coba bandingkan dengan kakaknya yang bersekolah ditempat lain.... apakah di pagi hari ia sering sulit dibangunkan untuk sekolah...? ya kadang-kadang, apakah ia sering mengeluh sakit pada saat mau ada ulangan disekolah...? Ya itu kalo yang itu sering. Bagaimana setelah pulang sekolah....? ya biasanya dia langsung masuk kamar dan gak pernah mau cerita apa-apa... kata si ibu lagi. Coba ibu pikirkan kira-kira apa sebabnya....? Dapatkah anak yang stress setiap hari bisa belajar dengan baik....? si Ibu tadi terdiam, kelihatannya merenung....., ya saya hanya barharap agar ibu tadi dapat berpikir dan mengambil keputusan yang tepat bagi anaknya.

Last Updated ( Friday, 10 August 2007 )

Selasa, 06 Mei 2008

Belajar Mengenai Riset

Ide dan Artikel
Written by Aar
Friday, 18 April 2008
Riset itu bukan sebuah hal yang menakutkan dan menyeramkan. Anak-anak dapat belajar mengenai riset dengan cara yang menyenangkan.Anak-anak dapat belajar mengamati, mencatat hasil pengamatan, mengklasifikan, dan kemudian membuat cerita tentang hasil pengamatannya.Obyek yang diambil bisa sangat beragam, yang penting anak-anak suka dan menikmati aktivitasnya. Berikut ini beberapa contoh aktivitas yang dapat digunakan untuk melatih anak-anak melakukan penelitian.a. Meneliti isi lemari; mengelompokkan baju (jenis, warna, pemilik, dsb), menghitung jumlahnya, dan menceritakan mengenai baju-baju yang ada di lemari.b. Meneliti laci mainan: apa saja isinya, dikelompokkan (baik/rusak, jenis, dll), menghitung jumlahnya, dan menceritakan mengenai mainan. Bisa dilanjutnya dengan apa yang mau dilakukan terhadap mainan: mana yang disimpan dan mana yang dikeluarkan/dibuang/diberikan kepada orang lain.c. Meneliti isi rumah: berapa jumlah jendela, pintu, meja, kursi; belajar membuat deskripsi mengenai benda-benda yang diamati.d. Mengamati orang/anggota keluarga: rambut, jenis kelamin, bentuk wajah, tinggi, kebiasaan, kacamata, dan sebagainya.e. Banyak lagi yang lain; misalnya daun di halaman, bentuk-bentuk benda di rumah (shapes), Kegiatan-kegiatan itu kelihatannya sederhana. Idenya adalah memanfaatkan apa-apa yang ada di sekitar rumah kita. Tapi, sebenarnya banyak aspek riset yang sudah terkandung di dalamnya. Untuk tidak terbebani dengan kerumitannya karena mereka merasa sedang bermain dan bersenang-senang. Padahal mereka sedang belajar "riset" lho...Have fun...anak-anak yang agak besar, buat tabel dan minta anak untuk belajar mengisi tabel tentang apa-apa yang sedang diamatinya.Melalui kegiatan ini, anak

Minggu, 04 Mei 2008

Komunitas Sekolah-rumah Sebuah Model Pemenuhan Hak atas Pendidikan

Rabu, 02 Mei 2007

Yanti Sriyulianti
Memindahkan anak-anak dari sekolah secara permanen menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara homeschooling alias sekolah-rumah. Bagi masyarakat kita, ijazah masih menjadi satu-satunya modal untuk meningkatkan taraf hidup. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir ini sumber daya sekolah di Indonesia diarahkan untuk selembar ijazah yang diperoleh dengan sistem penilaian sesaat untuk menentukan kelulusan.
Belajar tiga tahun di sekolah menengah seolah tidak berarti apa pun dalam menentukan kelulusan dari sekolah. Akibatnya, guru-guru, sekolah, bahkan dinas terkait mengarahkan anak-anak untuk mengejar nilai akhir. Jika demikian halnya, apa jadinya anak-anak bangsa di masa depan?
Sejatinya, pemenuhan hak atas pendidikan menjadi komitmen pemerintah. Demikian juga dengan upaya penyatuan berbagai komitmen global untuk mencapai pendidikan untuk semua (education for all). Kerangka Kerja Aksi Dakar mempertegas bahwa pendidikan merupakan hak asasi manusia (HAM) dan telah menekankan pentingnya komitmen pemerintah untuk mewujudkan pendidikan berbasis HAM yang diimplementasikan untuk semua pada lingkup negara.
Menurut Katarina Tomasevski dalam buku Pendidikan Berbasis Hak Asasi, agar pendidikan dapat disediakan (available) pemerintah perlu menjamin pendidikan tanpa biaya dan wajib belajar bagi semua anak. Pemerintah juga dituntut menghargai kebebasan para orangtua untuk memilihkan anak-anaknya dalam memperoleh pendidikan berkualitas.
Agar pendidikan dapat dijangkau (accessible), penghapusan diskriminasi sebagai mandat dari undang-undang HAM internasional perlu menjadi prioritas kebijakan pendidikan. Agar pendidikan dapat diterima (acceptable), hak-hak manusia seyogianya diterapkan dalam proses pembelajaran. Agar pendidikan dapat disesuaikan (adaptable), pendidikan perlu menyesuaikan minat utama setiap individu anak.
Di tengah keengganan pemerintah untuk mendengar amanat hati nurani warga negara terkait dengan korban UN 2006 dan memenuhi amanat UUD 1945 dan UU Sisdiknas mengenai anggaran 20 persen dari APBN dan APBD, ada secercah harapan dengan adanya pengakuan Direktorat Kesetaraan Ditjen PLS Depdiknas terhadap komunitas sekolah-rumah.
Pendidik terbaik
Apakah saya dapat menjadi pendidik? Hampir semua orangtua akan bertanya seperti ini ketika memutuskan untuk memilih sekolah-rumah sebagai model pendidikan bagi anak-anak. Apakah mungkin bagi orangtua untuk beralih fungsi menjadi guru bagi anak? Bukankah perlu waktu bertahun-tahun untuk memenuhi kualifikasi guru?
Jawabannya adalah "ya". Namun, belajar di sekolah sangat berbeda daripada belajar di sekolah-rumah. Pengelompokan anak-anak sebaya dengan minat dan kemampuan yang berbeda selama 6-7 jam sehari dalam satu ruang kelas pasti memerlukan profesional yang sejahtera.
Bagi anak, mengembangkan potensi secara aktif berarti melestarikan pengetahuan, penguasaan, dan kebajikan dengan pengalaman belajar yang menyenangkan dalam bimbingan pendidik terbaik. Homeschooling atau sekolah-rumah tidak menuntut orangtua menjadi guru layaknya guru dalam ruang kelas. Cukup dengan mendorong anak untuk menumbuhkan pengalaman belajar dalam balutan cinta, kasih sayang, dan kehangatan keluarga. Keberhasilan sekolah-rumah sebenarnya sudah dimulai ketika orangtua menyadari bahwa tiap anak adalah sebaik-baiknya ciptaan Tuhan.
Pengalaman belajar kami sebagai orangtua diperoleh ketika Zakky (11), anak kami, disiapkan untuk sekolah-rumah sejak Oktober 2005 dan berhenti dari sebuah sekolah alternatif di Jakarta. Sebelumnya, Zakky mendapatkan model pendidikan anak merdeka dari kelas I sampai IV di SD Hikmah Teladan Cimahi. Tujuh bulan lamanya masa transisi dari sekolah ke sekolah-rumah kami lalui dengan membaca sejarah penemu dan ciptaannya serta melatih cara berpikir kritis, peduli, dan kreatif untuk menjalankan kembali pendidikan anak merdeka.
Sejarah merupakan gerbang yang membuka cara berpikir dan imajinasi jauh melebihi dataran, waktu, dan peradaban manusia. Cerita atau dongeng sejarah membantu anak-anak memahami bagaimana orang- orang pada waktu dan tempat yang berbeda, bagaimana perbedaan karakteristik masyarakat dan peradaban manusia berubah dan bagaimana mereka bisa bersama-sama menghasilkan karya- karya terbaik yang tak lekang oleh zaman. Cerita-cerita terpilih seperti kisah para nabi, biografi penemu-penemu ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sejarah bangsa-bangsa mendorong motivasi berprestasi, cara menyikapi kegagalan dan kajian untuk bertahan hidup.
Cerita Fitry (15) tentang mitologi dari negara Skandinavia mengenai penciptaan dunia manusia yang diperolehnya saat menelusuri referensi tentang gerhana matahari, atau antusiasme Zakky menggali referensi tentang sejarah penciptaan alam semesta setelah keluar dari planetarium, menyadarkan saya akan waktu-waktu berharga untuk tumbuh bersama anak-anak yang sudah lama hilang. Anak- anak pada dasarnya telah jadi pendidik terbaik.
Awalnya, kami memfasilitasi pembelajaran Zakky dalam bentuk menyediakan guru dari SD Hikmah Teladan dan mengajak keluarga penggiat sekolah-rumah lainnya untuk bergabung. Setelah mencari informasi dari beragam sumber, kami memutuskan untuk membuka komunitas sekolah-rumah dengan menguatkan partisipasi anak dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran.
Pengajaran harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta memperkokoh rasa penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi. Pengajaran harus mempertinggi saling pengertian, rasa saling menerima, serta rasa persahabatan di antara semua bangsa, golongan-golongan kebangsaan atau golongan penganut agama, serta harus memajukan kegiatan-kegiatan PBB dalam memelihara perdamaian.
Dalam konteks ini, komunitas sekolah-rumah sebagai model pendidikan kesetaraan yang diakui pemerintah ditantang untuk bisa menjamin perlindungan anak agar tidak menyalahi prinsip penyelenggaraan yang diamanatkan UU Sisdiknas maupun praktik indoktrinasi yang mengarah pada fanatisme.
Modal belajar
Penyelenggara sekolah-rumah tidak perlu berlelah-lelah dengan batasan kurikulum dalam sebuah kelas yang disibukkan oleh 24 anak, bahkan lebih. Ketika hambatan terhadap penghargaan ditiadakan, minat dan kemampuan anak terus digali serta tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, maka budaya belajar jadi niscaya.
Masalahnya, belum banyak orangtua yang yakin dapat mempraktikkan hal ini. Seminar, lokakarya, dan pelatihan parenting mungkin dapat membantu. Tapi, ini belum lengkap tanpa pendampingan program belajar keluarga.
Menghadirkan fasilitator yang berpengalaman dalam mengimplementasikan pendidikan anak merdeka dalam Forum OK! (Obrolan Keluarga) ternyata dapat memperkuat komunitas sekolah-rumah.
Setiap keluarga penyelenggara sekolah-rumah dapat berbagi pengalaman belajar sambil mendiskusikan perkembangan anak- anak dalam suasana yang penuh kekeluargaan. Bahkan, kini sudah ada asosiasi sekolah-rumah dan pendidikan alternatif yang diharapkan dapat menjadi badan amanah bagi komunitas sekolah-rumah dan pendidikan alternatif di Indonesia.
Seluruhnya menjadi modal belajar yang sangat berarti bagi komunitas sekolah-rumah. Apalagi jika komitmen pemerintah dan pemerintah daerah untuk menyediakan anggaran yang memadai bagi pemenuhan hak atas pendidikan berkualitas dan bebas biaya tidak hanya bagi anak-anak sekolah, tetapi juga bagi pelaksana sekolah-rumah dan pendidikan alternatif segera direalisasikan.
Yanti Sriyulianti Praktisi Pendidikan dan Penggerak Sekolah-Rumah
Rabu, 02 Mei 2007
Sekolah-Rumah, Pilihan untuk Kembangkan Potensi Anak
Indira Permanasari
Empat anak berjongkok mengitari gundukan tanah dan pasir di kawasan Sekolah Lanjutan Perwira Polri di Jakarta Selatan. Usianya tidak seragam, malah ada yang masih lima tahun.
Begitu air dituang, gundukan pasir itu longsor. "Ya,... rusak deh. Sayang, ya...," komentar seorang anak. Semua tampak antusias memelototi longsoran pasir.
"Ayo, bayangkan kalau ada orang yang tinggal di lereng gunung itu," kata Agus. Rupanya, terkait Hari Bumi, 22 April lalu, anggota Homeschooling Kak Seto tengah belajar dengan tema terkait lingkungan hidup.
Sehari-hari anak-anak yang sedang menempuh pendidikan dasar itu, sesuai dengan namanya, homeschooling atau sekolah- rumah, belajar di rumah masing-masing. Hanya dua kali seminggu mereka berkumpul di Knowledge Center Selapa Polri, Jakarta Selatan, untuk belajar berkelompok dengan tutor mereka. Tiga hingga empat anak bisa dikawal dua tutor. Tak ada ruang kelas yang sesak, apalagi membosankan lantaran mereka belajar di "pusat pengetahuan" yang dilengkapi toko buku, perpustakaan, kafe, dan internet.
Anak-anak juga tidak dipisahkan dalam kelas-kelas tertentu. Semua belajar bersama sesuai dengan tema pembelajaran yang diinginkan hari itu. Tentu saja tidak ada seragam sekolah.
Siang hari giliran anak-anak yang sudah setara SMA mulai berkelompok. Mereka sedang sibuk mengerjakan proyek membuat herbarium, lalu dijadwal berangkat ke lapangan, yakni ke sebuah panti jompo.
Ny Nur Indah Himawati dengan sadar memilih model sekolah-rumah bagi anaknya, Bintang Haikal (5). "Saya lihat kemampuan Bintang sudah lebih dari umurnya. Umur tiga tahun dia sudah bisa membaca, menggunakan komputer, kamera, dan handycam. Kalau masuk SD tidak diperbolehkan karena umurnya belum cukup. Lagi pula saya tidak bekerja dan mengurus Bintang sendiri. Jadi, saya punya waktu banyak untuk belajar bersama Bintang di rumah," tutur Nur Indah, yang tinggal di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Menurut Munasprianto Ramli, ketua tutorial Homeschooling Kak Seto, tutorial di komunitas tersebut untuk memperdalam materi akademis. Setelah itu, anak dan keluarga mengeksplorasi dan memperdalam materi sendiri di rumah.
Belajar di rumah bukan berarti tidak serius. Bintang Haikal, misalnya, punya jadwal belajar piano, Matematika, dan Bahasa Inggris. Sekarang, Ny Nur Indah sedang mencari kursus animasi atas permintaan Bintang.
"Saya hanya ingin potensi, minat, dan bakat Bintang berkembang. Hanya dengan homeschooling ini Bintang bisa akselerasi," ujar Nur Indah.
Belakangan, model sekolah- rumah mulai tidak asing dan menjadi pilihan orangtua. Di dunia maya, bertebaran berbagai blog, situs, dan mailing list tempat para homeschooler bertukar informasi; mulai dari perkembangan kegiatan anak-anak mereka sehari-hari hingga berbagai kurikulum atau materi.
Sekolah-rumah bisa dilaksanakan secara tunggal oleh keluarga itu sendiri atau bergabung dalam komunitas belajar. Komunitas yang telah terbentuk antara lain Fikarhomeschooling,Morning Star Academy, Komunitas Homeschooling Berkemas, Homeschooling Kak Seto, dan KerLip. Ada pula asosiasi para homeschooler.
Belakangan, artis Dewi Hughes meluncurkan sekolah- rumah berbasis elektronik pertama di Indonesia, Hugheschooling. Selain pembelajaran dengan materi pendidikan akademik, juga disediakan materi non-akademik dalam bentuk exploration, advancement, dan project yang disesuaikan dengan bakat dan minat anak.
Sekjen Sekolah-Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) Dhanang Sasongko mengatakan bahwa sekolah-rumah menjadi tren pendidikan saat ini. Konsep dari model pendidikan itu ialah mengedepankan perkembangan potensi, bakat, dan minat anak secara spesifik.
Penanganan individual
Anak mendapatkan penanganan secara individu. Mereka menyusun sendiri pembelajaran. Ada juga keluarga yang mengacu pada kurikulum tertentu, seperti Cambridge, dan kemudian memilih ikut ujian internasional. Mendidik anak dengan sekolah- rumah merupakan sebuah pilihan, tanpa bermaksud membuat tandingan sekolah formal.
Sekolah-rumah sendiri bukan tanpa segudang pertanyaan. Yang biasanya muncul ialah terkait sosialisasi anak dengan dunia luar dan legalitas. Bagi Dhanang, sekolah-rumah bukan berarti steril dari masyarakat.
"Kita sering mengadakan kegiatan di luar, seperti ke pasar dan panti-panti. Itu untuk pendekatan mereka dengan masyarakat. Dalam pembelajaran, mereka juga tidak hanya diajar oleh orangtua atau saat di komunitas oleh tutor, sering kali mereka mendatangi langsung ahlinya," kata Dhanang.
Bagi Direktur Pendidikan Kesetaraan pada Ditjen Pendidikan Luar Sekolah Ella Yulaelawati, tumbuhnya sekolah-rumah sejalan dengan kesadaran dan kesiapan keluarga untuk memberikan layanan pembelajaran bagi anak-anaknya di dalam rumahnya sendiri. Sekolah-rumah merupakan salah satu satuan pendidikan kesetaraan.
Pilihan ini merupakan hak orangtua yang dijamin peraturan perundang-undangan, asal melaksanakan pendidikan sejalan dengan makna pendidikan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
"Sebenarnya kita tidak usah saling mempertentangkan antara pendidikan formal dan nonformal. Masing-masing punya segmen khusus. Yang penting bagaimana supaya pembelajaran itu bisa terjadi kapan dan di mana saja, tanpa kendala apa pun. Ini juga untuk mendukung pembelajaran sepanjang hayat," kata Ella.
Akan tetapi, walaupun pendidikan di dalam rumah sebagai pendidikan informal merupakan kewenangan penuh keluarga/ orangtua, dalam rangka menjamin terpenuhinya hak pendidikan dan perkembangan anak, orangtua yang akan menyelenggarakan sekolah-rumah diwajibkan melaporkan kepada pemerintah. Penyelenggara sekolah- rumah tetap perlu mendaftarkan komunitas belajar pada bidang yang menangani pendidikan kesetaraan, yaitu dinas pendidikan kabupaten/kota setempat.
Di negara tertentu ada juga yang diwajibkan menandatangani kesepakatan antara orangtua dan pemerintah. Intervensi pemerintah ini dilakukan dalam rangka menjamin kualitas layanan pendidikan yang akan diberikan di rumah, sejalan dengan tingkat kompetensi yang harus dicapai anak sesuai dengan jenjang pendidikan yang diikutinya. Pemerintah juga memfasilitasi terselenggaranya ujian nasional bagi peserta yang terdaftar di komunitas belajar.
Agar kegiatan sekolah-rumah bisa memperoleh penilaian dan penghargaan melalui pendidikan kesetaraan, perlu ditempuh langkah-langkah pembentukan komunitas belajar, yakni mendaftarkan kesiapan orangtua/keluarga untuk menyelenggarakan pembelajaran di rumah/lingkungan kepada komunitas belajar dan berhimpun dalam satu komunitas. Dengan adanya komunitas seperti ini memudahkan mendata peserta didik sekolah-rumah dan memfasilitasi mereka untuk ikut pendidikan kesetaraan Paket A, B, dan C.
Sebagai lembaga pendidikan alternatif, persekolahan di rumah juga akan mendapat bantuan operasional penyelenggaraan (BOP) atau semacam bantuan operasional sekolah (BOS) di sekolah formal. Semua penyelenggara pendidikan alternatif memang berhak mendapat BOP.
(Ester Lince Napitupulu)

Jumat, 02 Mei 2008

Lebih Jauh Tentang Homeschooling

Homeschooling (sekolah rumah) saat ini mulai menjadi salah satu pilihan orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Pilihan ini terutama disebabkan oleh adanya pandangan atau penilaian orang tua tentang kesesuaian bagi anak-anaknya.
Bisa juga karena orang tua merasa lebih siap untuk menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya di rumah. Ini banyak dilakukan di kota-kota besar, terutama oleh mereka yang pernah melakukannya ketika berada di luar negeri.Sekolah rumah, menurut Ella Yulaelawati, direktur Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orang tua atau keluarga di mana proses belajar mengajar berlangsung dalam suasana yang kondusif.Tujuannya agar setiap potensi anak yang unik dapat berkembang secara maksimal. Rumusan yang sama dikemukakan oleh Dr Seto Mulyadi, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, saat keduanya tampil berbicara dalam sebuah seminar di Jakarta, beberapa waktu lalu.Pembelajaran kreatifElla mengakui, ada beberapa alasan orang tua di Indonesia memilih sekolah rumah. Antara lain, dapat menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, memberikan lingkungan sosial dan suasana belajar yang baik, dan dapat memberikan pembelajaran langsung yang konstekstual, tematik, nonskolastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu.Menurut Seto, sekolah rumah memiliki keunggulan karena bimbingan dan layanan pengajaran dilakukan secara individual. Proses pembelajaran lebih bermakna karena terintegrasi dengan aktivitas sehari-hari. Lebih dari itu, waktunya pun lebih fleksibel karena dapat disesuaikan dengan kesiapan anak dan orang tua.Seto mengatakan, menyelenggarakan sekolah rumah menuntut kemauan orang tua untuk belajar, menciptakan pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan, dan memelihara minat dan antusias belajar anak. Sekolah rumah juga memerlukan kesabaran orangtua, kerja sama antaranggota keluarga, dan konsisten dalam penanaman kebiasaan.Seto menampik sejumlah mitos yang dinilainya keliru tentang homeschooling selama ini. Misalnya, anak kurang bersosialisasi, orang tua tidak bisa menjadi guru, orang tua harus tahu segalanya, orang tua harus meluangkan waktu 8 jam sehari, waktu belajar tidak sebanyak waktu belajar sekolah formal, anak tidak terbiasa disiplin dan seenaknya sendiri, tidak bisa mendapatkan ijazah dan pindah jalur ke sekolah formal, tidak mampu berkompetisi, dan homeschooling mahal. `'Itu keliru,'' ucapnya.Teman belajarLalu, apa yang yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam menyelenggarakan sekolah rumah? Seto mengatakan, orang tua harus menjadikan anak sebagai teman belajar dan menempatkan diri sebagai fasilitator. `'Orang tua harus memahami bahwa anak bukan orang dewasa mini,'' tuturnya.Anak, kata Seto, perlu bermain. Itu yang perlu dipahami oleh orang tua. Karena itu pula, orang tua tidak boleh arogan dengan menempatkan diri sebagai guru, tapi belajar bersama. Kalau tidak siap dengan itu, menurut Seto, lebih baik jangan menyelenggarakan sekolah rumah.Orang tua, kata Seto lagi, tetap perlu terus menambah pengetahuan. Tidak mesti menguasai semua jenis ilmu. Yang penting, memiliki pemahaman tentang anak. Bila orang tua kurang mengerti pelajaran biologi atau matematika, misalnya, orang tua bisa mendatangkan guru untuk pelajaran tersebut dan belajar bersama anak. Dengan demikian, anak akan merasa tidak lebih rendah, tapi sebagai sahabat dalam belajar.Bagaimana dengan kedua orang tua yang bekerja sehingga merasa tidak punya waktu untuk memberikan pembelajaran kepada anak dalam menyelenggarakan homeschooling? Seto mengatakan, itu tidak boleh menjadi alasan.Sesibuk apa pun orang tua, tetap harus punya waktu untuk anak. `'Kalau tidak punya waktu, jangan punya anak,'' ucap psikolog yang juga menyelenggarakan homeschooling bagi anak sulungnya itu.Pembelajaran sekolah rumah sebaiknya menyesuaikan dengan standar kompetensi yang telah ditentukan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Ini agar sejalan dengan pertumbuan dan kemampuan anak, di samping dapat diikutkan dalam evaluasi dan ujian yang diselenggarakan secara nasional. Standar kompetensi menjadi panduan yang harus dimiliki seorang anak pada kelas tertentu. Anak kelas VI SD atau setara, misalnya, minimal sudah harus menguasai pelajaran matematika sampai batas tertentu pula. Standar kompetensi ini, kata Seto, dapat diperoleh di Dinas Pendidikan yang ada di daerah masing-masing.Evaluasi bagi anak yang mengikuti homeschooling dapat dilakukan dengan mengikutkan pada ujian Paket A yang setara dengan SD atau Paket B setara SMP. Pada dasarnya, kata Seto, dapat pula dilakukan dengan menginduk ke sekolah formal yang ada untuk proses evaluasi. Menurut dia, harusnya ini bisa dilakukan karena sekolah rumah bukan sekolah liar. Homeschooling seusai dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). (idionline/RoL)

Kamis, 01 Mei 2008

DHANANG SASONGKO HOMESCHOOLING

PERSPEKTIF

PengantarDhanang Sasongko adalah Sekretaris Jenderal Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena). Sekarang ini pendidikan alternatif atau home schooling (HS) sedang tren. Kita bisa menyebutkan beberapa contoh dari kalangan selebritis seperti Nia Ramadhani, Kak Seto, Neno Warisman, dan beberapa nama lainnya yang memilih alternatif HS ini.Dhanang berpendapat HS ada kelemahan dan keunggulannya.Apa sebetulnya home schooling (HS) itu? Kalau di Amerika Serikat (AS) dan di dunia, HS sudah lama berkembang. Di Indonesia mungkin ada yang namanya Proses Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). HS terdiri dari tiga jenis. Pertama, HS tunggal. Ini penggiatnya adalah satu keluarga. Kemudian HS majemuk terdiri dari dua keluarga, dan terakhir HS komunitas. Komunitas ini dibentuk dengan metode pembelajarannya secara tutorial. HS tunggal dilakukan di rumah. HS itu adalah bagaimana proses kegiatan belajar, di mana pun, kapan pun, dan dengan siapa saja.Bagaimana sistemnya? HS komunitas adalah beberapa keluarga memberikan kepercayaannya untuk mendidik anak-anaknya ke dalam HS. Proses pembelajarannya melalui tutorial. Ini ada di salah satu metode HS Kak Seto.Siapa tutornya?Kita mempunyai tim yang namanya Badan Tutorial. Mereka terdiri dari lulusan berbagai jenis profesi pendidikan. Ada Paket A yang setara dengan Sekolah Dasar (SD), Paket B yang setara Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Paket C yang setara Sekolah Menengah Atas (SMA). Jadi kunjungannya adalah kunjungan ke komunitas. Bagaimana proses belajar HS?Kita memberikan masing-masing peserta didik kebebasan dalam memilih pembelajaran tapi tidak terlepas dari kurikulum. Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum 2004, yaitu kurikulum berbasis kompetensi, atau kurikulum terbaru kurikulum 2006. Jadi tetap ada acuannya karena nanti di ujung dari proses pendidikan HS ada ujian kesetaraan. Apakah HS komunitas memiliki kelebihan atau keunggulan dari yang lain?Ini harus dilihat dari kondisi orang tuanya. Kalau kedua orang tua bekerja, tapi menginginkan anaknya untuk HS, mungkin lebih tepat ke HS komunitas. Sedangkan untuk HS tunggal agak susah karena orang tua harus full. Jadi untuk yang komunitas itu sifatnya tutorial dan hadir di kegiatan komunitas.Bagaimana pendidikan bersosialiasasi pada murid HS?Mereka bisa lebih banyak ada kesempatan untuk pergi ke luar. Jadi mengenai bersosialisasi mereka tidak ada masalah. Yang paling penting juga adalah kita memberikan kemandirian, yaitu dalam belajar dan mengambil keputusan. Bagaimana dengan sertifikat atau ijazah kelulusan untuk HS?Orang tidak perlu khawatir untuk mendapatkan ijazah kesetaraan. Di SD ada ijazah kesetaraan untuk tingkat SD. Orang bisa ikut ujian kesetaraan dan jika lulus akan mendapatkan ijazah Kesetaraan SD, lalu SMP, dan juga ada SMA. Ini bisa diterima oleh berbagai sekolah dan universitas. Jadi sudah dilegalitas oleh pemerintah. Dalam hal ini di HS memang ada kelemahannya, yaitu tidak ada kompetisi atau persaingan. Tapi keunggulannya yang paling dominan adalah dengan terbatasnya jumlah peserta didik, tutor bisa langsung fokus pada potensi masing-masing anak peserta didik. n



Copyright © Sinar Harapan 2003

HOMESCHOOLING VS SEKOLAH UMUM

Model pendidikan yang paling terkenal dan diakui masyarakat adalah sistem sekolah atau pendidikan formal baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta. Sekolah umum seringkali dipandang sebagian orang lebih valid dan disukai.

Namun bagi sebagian orang, sistem sekolah umum merupakan sekolah yang tidak memuaskan bagi perkembangan diri anak. Sekolah umum menjadi kambing hitam atas output yang dikeluarkannya. Hal ini terlihat dari output pendidikan formal banyak menjadi koruptor, pelaku mafia peradilan, politisi pembohong, dan penipu kelas kakap. Alasan kekecewaan itulah memicu keluarga-keluarga memilih sekolah rumah alias homeschooling sebagai pendidikan alternatif.

Pada hakekatnya, baik homeschooling maupun sekolah umum, sama-sama sebagai sebuah sarana untuk menghantarkan anak-anak mencapai tujuan pendidikan seperti yang diharapkan. Namun homeschooling dan sekolah memiliki perbedaan.

Pada sistem sekolah, tanggung jawab pendidikan anak didelegasikan orang tua kepada guru dan pengelola sekolah. Pada homeschooling, tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya berada di tangan orang tua.

Sistem di sekolah terstandardisasi untuk memenuhi kebutuhan anak secara umum, sementara sistem pada homeschooling disesuaikan dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga.

Pada sekolah, jadwal belajar telah ditentukan dan seragam untuk seluruh siswa. Pada homeschooling jadwal belajar fleksibel, tergantung pada kesepakatan antara anak dan orang tua.

Pengelolaan di sekolah terpusat, seperti pengaturan dan penentuan kurikulum dan materi ajar. Pengelolaan pada homeschooling terdesentralisasi pada keinginan keluarga homeschooling. Kurikulum dan materi ajar dipilih dan ditentukan oleh orang tua.

Kelebihan dan Kekurangan Homeschooling
Dari perbedaan di atas, kita dapat menyebutkan kelebihan homeschooling, antara lain: adaptable, artinya sesuai dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga; mandiri artinya lebih memberikan peluang kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan di sekolah umum; potensi yang maksimal, dapat memaksimalkan potensi anak, tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan sekolah; siap terjun pada dunia nyata. Output sekolah rumah lebih siap terjun pada dunia nyata karena proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada di sekitarnya; terlindung dari pergaulan menyimpang. Ada kesesuaian pertumbuhan anak dengan dengan keluarga. Relatif terlindung dari hamparan nilai dan pergaulan yang menyimpang (tawuran, narkoba, konsumerisme, pornografi, mencontek dan sebagainya); Ekonomis, biaya pendidikan dapat menyesuaikan dengan kondisi keuangan keluarga.

Di sisi lain, homeschooling mempunyai kelemahan-kelemahan yang dapat disebutkan berikut ini: membutuhkan komitmen dan tanggung jawab tinggi dari orang tua; memiliki kompleksitas yang lebih tinggi karena orangtua harus bertanggung jawab atas keseluruhan proses pendidikan anak; keterampilan dan dinamika bersosialisasi dengan teman sebaya relatif rendah; ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi dan kepemimpinan; proteksi berlebihan dari orang tua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi dan masalah sosial yang kompleks yang tidak terprediksi.

Penutup
Homeschooling merupakan sebuah pilihan dan khazanah alternatif pendidikan

FAKTOR 2 PEMICU DAN PENDUKUNG HOMESCHOOLING

Kegagalan sekolah formal
Baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia, kegagalan sekolah formal dalam menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik menjadi pemicu bagi keluarga-keluarga di Indonesia maupun di mancanegara untuk menyelenggarakan homeschooling. Sekolah rumah ini dinilai dapat menghasilkan didikan bermutu.

Teori Inteligensi ganda
Salah satu teori pendidikan yang berpengaruh dalam perkembangan homeschooling adalah Teori Inteligensi Ganda (Multiple Intelligences) dalam buku Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences (1983) yang digagas oleh Howard Gardner. Gardner menggagas teori inteligensi ganda. Pada awalnya, dia menemukan distingsi 7 jenis inteligensi (kecerdasan) manusia. Kemudian, pada tahun 1999, ia menambahkan 2 jenis inteligensi baru sehingga menjadi 9 jenis inteligensi manusia. Jenis-jenis inteligensi tersebut adalah:Inteligensi linguistik; Inteligensi matematis-logis; Inteligensi ruang-visual; Inteligensi kinestetik-badani; Inteligensi musikal; Inteligensi interpersonal; Inteligensi intrapersonal; Inteligensi ligkungan; dan Inteligensi eksistensial.

Teori Gardner ini memicu para orang tua untuk mengembangkan potensi-potensi inteligensi yang dimiliki anak. Kerapkali sekolah formal tidak mampu mengembangkan inteligensi anak, sebab sistem sekolah formal sering kali malahan memasung inteligensi anak.
(Buku acuan yang dapat digunakan mengenai teori inteligensi ganda ini dalam bahasa Indonesia ini, Teori Inteligensi Ganda, oleh Paul Suparno, Kanisius: 2003).

Sosok homeschooling terkenal
Banyaknya tokoh-tokoh penting dunia yang bisa berhasil dalam hidupnya tanpa menjalani sekolah formal juga memicu munculnya homeschooling. Sebut saja, Benyamin Franklin, Thomas Alfa Edison, KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara dan tokoh-tokoh lainnya.
Benyamin Franklin misalnya, ia berhasil menjadi seorang negarawan, ilmuwan, penemu, pemimpin sipil dan pelayan publik bukan karena belajar di sekolah formal. Franklin hanya menjalani dua tahun mengikuti sekolah karena orang tua tak mampu membayar biaya pendidikan. Selebihnya, ia belajar tentang hidup dan berbagai hal dari waktu ke waktu di rumah dan tempat lainnya yang bisa ia jadikan sebagai tempat belajar.

Tersedianya aneka sarana
Dewasa ini, perkembangan homeschooling ikut dipicu oleh fasilitas yang berkembang di dunia nyata. Fasilitas itu antara lain fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan, rumah sakit), fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, pabrik, sawah, perkebunan), dan fasilitas teknologi dan informasi (internet dan audivisual).

PENGAKUAAN LEGALITAS HOMESCHOOLING DI INDONESIA

Legalitas
Tanggal 10 Januari 2007 yang lalu, telah ditandatangani kesepakatan kerjasama antara Dirjen Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas (PLS Depdiknas) dengan Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (ASAHPENA). Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh Ace Suryadi, Ph. D (Dirjen PLS Depdiknas) dan Dr. Seto Mulyadi (Ketua Umum ASAHPENA). Berikut ringkasan isi kesepakatan yang meningkatkan pengakuan dan eksistensi homeschooling di Indonesia.KESEPAKATAN KERJASAMADirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Depdiknasdan ASAHPENANomor: 02/E/TR/2007Nomor: 001/I/DK/AP/07Tanggal: 10 Januari 2007Tentang: Pembinaan dan Penyelenggaraan Komunitas SekolahRumah sebagai Satuan Pendidikan KesetaraanTandatangan:
Ace Suryadi, Ph.D, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS), Departemen Pendidikan Nasinal (Depdiknas)
Dr. Seto Mulyadi, Ketua Umum Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif Indonesia (ASAHPENA) Tujuan:
Meningkatkan kuantitas dan kualitas SekolahRumah untuk memperluas akses pendidikan dasar 9 tahun jalur pendidikan nonformal (Paket A dan Paket B);
Memperluas akses pendidikan menengah jalur pendidikan nonformal melalui komunitas Sekolahrumah dan pendidikan alternatif;
Meningkatkan mutu, relevansi dan daya saing penyelenggaraan sekolahrumah dan pendidikan alternatif;
Meningkatkan kerjasama antara kedua belah pihak serta lembaga-lembaga penyelenggara sekolahrumah dan pendidikan alternatif yang terkait lainnya. Ruang Lingkup kerjasama:
Pendataan dan pengadministrasian sasaran program Sekolahrumah;
Sosialisasi program Komunitas Sekolahrumah sebagai satuan Pendidikan Kesetaraan;
Penyiapan dan pengembangan kapasitas sumber daya manusia pendukung program Sekolahrumah;
Penyiapan dan pengembangan kurikulum, bahan ajar, dan penialain hasil belajar program Sekolahrumah;
Bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan program Sekolahrumah Tugas dan Tanggung Jawab Depdiknas:
Menyiapkan acuan, kriteria, dan prosedur yang terkait dengan Komunitas Sekolahrumah sebagai satuan Pendidikan Kesetaraan;
Memberikan bimbingan teknis dan evaluasi terhadap penyelenggaraan Komunitas Sekolahrumah sebagai satuan Pendidikan Kesetaraan;
Memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap penyelenggaraan Komunitas Sekolahrumah sebagai satuan Pendidikan Kesetaraan;
Melaksanakan bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan untuk mengendalikan mutu Komunitas Sekolahrumah;
Memberikan rekomendasi/ijin keberadaan Komunitas Sekolahrumah sesuai prosedur. Tugas dan Tanggung Jawab AsahPena:
Melaksanakan pendataan dan pengadministrasian calon/peserta didik dan keluarga penyelenggaran Sekolahrumah;
Menyiapkan Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang diperlukan;
Menyediakan sumberdaya sarana-prasarana pendukung pembelajaran;
Menyelenggarakan Komunitas Sekolahrumah sebagai satuan Pendidikan Kesetaraan sejenis;
Melakukan pemantauan, evaluasi, dan pembinaan serta pelaporan secara berkala tentang Komunitas Sekolahrumah;
Memfasilitasi peserta didik Komunitas Sekolahrumah untuk dapat mengikuti Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Ijazah Pendidikan Kesetaraan dan diakui sebagai ijazh yang dapat digunakan untuk masuk sekolah/pendidikan formal, termasuk perguruan tinggi negeri maupun swasta. Pembiayaan:Pembiayaan penyelenggaraan Komunitas Sekolahrumah ditanggung oleh masyarakat yang dikoordinasikan pihak kedua, sedangkan pihak pertama dapat memfasilitasi perluasan akses dan peningkatan mutu sesuai denagn peraturan yang berlaku

Apakah homeschooling cocok dengan saya ?

Sharing
Written by Sumardiono
Sekian tahun yang lalu, pada saat mulai tertarik dan memutuskanhomeschooling untuk anak-anak, kami berangkat dari gagasan sederhana.Daripada terus-menerus mengeluh dengan situasi dunia pendidikan yang ada di sekitar, lebih baik mencari solusi untuk kami sekeluarga.
Kami ini bukan siapa-siapa, cuma keluarga dan warga negara biasa. Kamibukan pejabat, pengamat, atau aktivis pendidikan. Kami juga bukan guru,walaupun saya pernah menyambi menjadi guru komputer di sebuah SMA pada saat kuliah.Buat kami, homeschooling adalah solusi keluarga kami. Terserah apa kataorang (tujuh tahun lalu, rasanya ber-HS itu masih sepi dan sendirian),tapi saya dan isteri melihat titik terang di dalam HS. Daripada mengeluhtentang lorong gelap di sekitar -yang tak akan menjadikannya terangdengan sekedar mengeluh-, kami memutuskan untuk memilih memegangsecercah sinar harapan itu. Buat kami, Homeschooling adalah sebuah"politik bertindak".Sebagai keluarga dan warga negara biasa, kami tak hidup dengan fasilitasdan layanan. Kami terbiasa mencari jalan keluar untuk masalah-masalahkeseharian kami tanpa harus tergantung pada pemerintah atau lembagatertentu. Keseharian ini ternyata mempengaruhi sikap kami dalam HS.Sejak awal, kami mengambil sikap mental "sesedikit mungkin tergantungpada pihak (otoritas) luar". Kami mencoba bersikap mandiri. Jadi, ketikaada kemudahan, fasilitas, dan sebagainya; buat kami itu sangat terasasebagai hal yang patut disyukuri. Ketika mulai ketemu teman-teman HSseperti mbak Ines dan bu Yayah, rasanya bahagia sekali. Tapi seandainyapun tidak ada fasilitas, kami tetap akan ber-HS dan mencari solusi untukmasalah-masalah praktis HS kami.Kami mengetahui bahwa HS merupakan hak pendidikan dan dijamin oleh UU Sisdiknas. Tapi, secara pribadi kami tak ingin tergantung denganpemerintah. Kalau dipermudah kami senang, tapi kalau tak diurusi buatkami juga nggak apa-apa. Wong keseharian kami juga nggak pernah diurusi pemerintah secara langsung.Karena sikap mandiri itu pula, sejak awal kami sangat dekat dengangagasan unschooling. Kami juga tidak terlalu terikat dengan kebutuhanijazah formal. Buat kami, banyak pintu menuju dunia profesi yang takharus mengandaikan urutan jenjang pendidikan seperti sekolah. Anak-anaktetap bisa menjadi ahli komputer, grafis, fotografi, dll tanpa harusterpaku pada ijazah formal SD-SMA. Teknologi Internet menjadi kemudahan sekaligus enabler factor yang membuat banyak hal menjadi bisa diraih, dengan standar kualitas internasional.Jika seandainya pun anak-anak ternyata memiliki kecenderungan sekolah(scholar), ada sertifikasi internasional seperti IGCSE (University ofCambridge) atau SAT (US) yang bisa diambil dan dipersiapkan sejak dini.Kalau pemerintah Indonesia memfasilitasi ujian kesetaraan (atau apapunnamanya), itu layak disyukuri. Tetapi, kalau yang itu juga dipersulit,buat kami ya sudah fokus pada solusi saja. Kami tidak ingin fokus padapintu yang tertutup, karena kami selalu yakin bahwa ada pintu yang terbuka.Karena berangkat dari nilai-nilai pribadi dan keluarga, terus terangsaya agak susah menjawab kalau ada yang berkirim email kepada saya dan bertanya: apakah HS cocok untuk saya? Yang pertama, itu adalah hidup Anda sehingga Anda lebih tahu daripada saya. Yang kedua, saya tidak mau mengambil keputusan untuk hidup orang lain.Pelajaran pertama yang saya peroleh saat mulai memikirkan HS adalah:belajar banyak dan mengetahui konsekuensinya. Setelah itu baru prosespengambilan keputusan dan kemudian menjalaninya dengan sebaik-baiknya.Saya selalu percaya, setiap pribadi dan keluarga harus mengambilkeputusan sendiri mengenai yang terbaik untuk hidupnya. Yang bisadiberikan orang lain adalah informasi dan inspirasi.Ini sekedar refleksi saja...


Salam,Aar