Rabu, 02 Mei 2007
Sekolah-Rumah, Pilihan untuk Kembangkan Potensi Anak
Indira Permanasari
Empat anak berjongkok mengitari gundukan tanah dan pasir di kawasan Sekolah Lanjutan Perwira Polri di Jakarta Selatan. Usianya tidak seragam, malah ada yang masih lima tahun.
Begitu air dituang, gundukan pasir itu longsor. "Ya,... rusak deh. Sayang, ya...," komentar seorang anak. Semua tampak antusias memelototi longsoran pasir.
"Ayo, bayangkan kalau ada orang yang tinggal di lereng gunung itu," kata Agus. Rupanya, terkait Hari Bumi, 22 April lalu, anggota Homeschooling Kak Seto tengah belajar dengan tema terkait lingkungan hidup.
Sehari-hari anak-anak yang sedang menempuh pendidikan dasar itu, sesuai dengan namanya, homeschooling atau sekolah- rumah, belajar di rumah masing-masing. Hanya dua kali seminggu mereka berkumpul di Knowledge Center Selapa Polri, Jakarta Selatan, untuk belajar berkelompok dengan tutor mereka. Tiga hingga empat anak bisa dikawal dua tutor. Tak ada ruang kelas yang sesak, apalagi membosankan lantaran mereka belajar di "pusat pengetahuan" yang dilengkapi toko buku, perpustakaan, kafe, dan internet.
Anak-anak juga tidak dipisahkan dalam kelas-kelas tertentu. Semua belajar bersama sesuai dengan tema pembelajaran yang diinginkan hari itu. Tentu saja tidak ada seragam sekolah.
Siang hari giliran anak-anak yang sudah setara SMA mulai berkelompok. Mereka sedang sibuk mengerjakan proyek membuat herbarium, lalu dijadwal berangkat ke lapangan, yakni ke sebuah panti jompo.
Ny Nur Indah Himawati dengan sadar memilih model sekolah-rumah bagi anaknya, Bintang Haikal (5). "Saya lihat kemampuan Bintang sudah lebih dari umurnya. Umur tiga tahun dia sudah bisa membaca, menggunakan komputer, kamera, dan handycam. Kalau masuk SD tidak diperbolehkan karena umurnya belum cukup. Lagi pula saya tidak bekerja dan mengurus Bintang sendiri. Jadi, saya punya waktu banyak untuk belajar bersama Bintang di rumah," tutur Nur Indah, yang tinggal di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Menurut Munasprianto Ramli, ketua tutorial Homeschooling Kak Seto, tutorial di komunitas tersebut untuk memperdalam materi akademis. Setelah itu, anak dan keluarga mengeksplorasi dan memperdalam materi sendiri di rumah.
Belajar di rumah bukan berarti tidak serius. Bintang Haikal, misalnya, punya jadwal belajar piano, Matematika, dan Bahasa Inggris. Sekarang, Ny Nur Indah sedang mencari kursus animasi atas permintaan Bintang.
"Saya hanya ingin potensi, minat, dan bakat Bintang berkembang. Hanya dengan homeschooling ini Bintang bisa akselerasi," ujar Nur Indah.
Belakangan, model sekolah- rumah mulai tidak asing dan menjadi pilihan orangtua. Di dunia maya, bertebaran berbagai blog, situs, dan mailing list tempat para homeschooler bertukar informasi; mulai dari perkembangan kegiatan anak-anak mereka sehari-hari hingga berbagai kurikulum atau materi.
Sekolah-rumah bisa dilaksanakan secara tunggal oleh keluarga itu sendiri atau bergabung dalam komunitas belajar. Komunitas yang telah terbentuk antara lain Fikarhomeschooling,Morning Star Academy, Komunitas Homeschooling Berkemas, Homeschooling Kak Seto, dan KerLip. Ada pula asosiasi para homeschooler.
Belakangan, artis Dewi Hughes meluncurkan sekolah- rumah berbasis elektronik pertama di Indonesia, Hugheschooling. Selain pembelajaran dengan materi pendidikan akademik, juga disediakan materi non-akademik dalam bentuk exploration, advancement, dan project yang disesuaikan dengan bakat dan minat anak.
Sekjen Sekolah-Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) Dhanang Sasongko mengatakan bahwa sekolah-rumah menjadi tren pendidikan saat ini. Konsep dari model pendidikan itu ialah mengedepankan perkembangan potensi, bakat, dan minat anak secara spesifik.
Penanganan individual
Anak mendapatkan penanganan secara individu. Mereka menyusun sendiri pembelajaran. Ada juga keluarga yang mengacu pada kurikulum tertentu, seperti Cambridge, dan kemudian memilih ikut ujian internasional. Mendidik anak dengan sekolah- rumah merupakan sebuah pilihan, tanpa bermaksud membuat tandingan sekolah formal.
Sekolah-rumah sendiri bukan tanpa segudang pertanyaan. Yang biasanya muncul ialah terkait sosialisasi anak dengan dunia luar dan legalitas. Bagi Dhanang, sekolah-rumah bukan berarti steril dari masyarakat.
"Kita sering mengadakan kegiatan di luar, seperti ke pasar dan panti-panti. Itu untuk pendekatan mereka dengan masyarakat. Dalam pembelajaran, mereka juga tidak hanya diajar oleh orangtua atau saat di komunitas oleh tutor, sering kali mereka mendatangi langsung ahlinya," kata Dhanang.
Bagi Direktur Pendidikan Kesetaraan pada Ditjen Pendidikan Luar Sekolah Ella Yulaelawati, tumbuhnya sekolah-rumah sejalan dengan kesadaran dan kesiapan keluarga untuk memberikan layanan pembelajaran bagi anak-anaknya di dalam rumahnya sendiri. Sekolah-rumah merupakan salah satu satuan pendidikan kesetaraan.
Pilihan ini merupakan hak orangtua yang dijamin peraturan perundang-undangan, asal melaksanakan pendidikan sejalan dengan makna pendidikan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
"Sebenarnya kita tidak usah saling mempertentangkan antara pendidikan formal dan nonformal. Masing-masing punya segmen khusus. Yang penting bagaimana supaya pembelajaran itu bisa terjadi kapan dan di mana saja, tanpa kendala apa pun. Ini juga untuk mendukung pembelajaran sepanjang hayat," kata Ella.
Akan tetapi, walaupun pendidikan di dalam rumah sebagai pendidikan informal merupakan kewenangan penuh keluarga/ orangtua, dalam rangka menjamin terpenuhinya hak pendidikan dan perkembangan anak, orangtua yang akan menyelenggarakan sekolah-rumah diwajibkan melaporkan kepada pemerintah. Penyelenggara sekolah- rumah tetap perlu mendaftarkan komunitas belajar pada bidang yang menangani pendidikan kesetaraan, yaitu dinas pendidikan kabupaten/kota setempat.
Di negara tertentu ada juga yang diwajibkan menandatangani kesepakatan antara orangtua dan pemerintah. Intervensi pemerintah ini dilakukan dalam rangka menjamin kualitas layanan pendidikan yang akan diberikan di rumah, sejalan dengan tingkat kompetensi yang harus dicapai anak sesuai dengan jenjang pendidikan yang diikutinya. Pemerintah juga memfasilitasi terselenggaranya ujian nasional bagi peserta yang terdaftar di komunitas belajar.
Agar kegiatan sekolah-rumah bisa memperoleh penilaian dan penghargaan melalui pendidikan kesetaraan, perlu ditempuh langkah-langkah pembentukan komunitas belajar, yakni mendaftarkan kesiapan orangtua/keluarga untuk menyelenggarakan pembelajaran di rumah/lingkungan kepada komunitas belajar dan berhimpun dalam satu komunitas. Dengan adanya komunitas seperti ini memudahkan mendata peserta didik sekolah-rumah dan memfasilitasi mereka untuk ikut pendidikan kesetaraan Paket A, B, dan C.
Sebagai lembaga pendidikan alternatif, persekolahan di rumah juga akan mendapat bantuan operasional penyelenggaraan (BOP) atau semacam bantuan operasional sekolah (BOS) di sekolah formal. Semua penyelenggara pendidikan alternatif memang berhak mendapat BOP.
(Ester Lince Napitupulu)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar