Kamis, 01 Mei 2008

Apakah homeschooling cocok dengan saya ?

Sharing
Written by Sumardiono
Sekian tahun yang lalu, pada saat mulai tertarik dan memutuskanhomeschooling untuk anak-anak, kami berangkat dari gagasan sederhana.Daripada terus-menerus mengeluh dengan situasi dunia pendidikan yang ada di sekitar, lebih baik mencari solusi untuk kami sekeluarga.
Kami ini bukan siapa-siapa, cuma keluarga dan warga negara biasa. Kamibukan pejabat, pengamat, atau aktivis pendidikan. Kami juga bukan guru,walaupun saya pernah menyambi menjadi guru komputer di sebuah SMA pada saat kuliah.Buat kami, homeschooling adalah solusi keluarga kami. Terserah apa kataorang (tujuh tahun lalu, rasanya ber-HS itu masih sepi dan sendirian),tapi saya dan isteri melihat titik terang di dalam HS. Daripada mengeluhtentang lorong gelap di sekitar -yang tak akan menjadikannya terangdengan sekedar mengeluh-, kami memutuskan untuk memilih memegangsecercah sinar harapan itu. Buat kami, Homeschooling adalah sebuah"politik bertindak".Sebagai keluarga dan warga negara biasa, kami tak hidup dengan fasilitasdan layanan. Kami terbiasa mencari jalan keluar untuk masalah-masalahkeseharian kami tanpa harus tergantung pada pemerintah atau lembagatertentu. Keseharian ini ternyata mempengaruhi sikap kami dalam HS.Sejak awal, kami mengambil sikap mental "sesedikit mungkin tergantungpada pihak (otoritas) luar". Kami mencoba bersikap mandiri. Jadi, ketikaada kemudahan, fasilitas, dan sebagainya; buat kami itu sangat terasasebagai hal yang patut disyukuri. Ketika mulai ketemu teman-teman HSseperti mbak Ines dan bu Yayah, rasanya bahagia sekali. Tapi seandainyapun tidak ada fasilitas, kami tetap akan ber-HS dan mencari solusi untukmasalah-masalah praktis HS kami.Kami mengetahui bahwa HS merupakan hak pendidikan dan dijamin oleh UU Sisdiknas. Tapi, secara pribadi kami tak ingin tergantung denganpemerintah. Kalau dipermudah kami senang, tapi kalau tak diurusi buatkami juga nggak apa-apa. Wong keseharian kami juga nggak pernah diurusi pemerintah secara langsung.Karena sikap mandiri itu pula, sejak awal kami sangat dekat dengangagasan unschooling. Kami juga tidak terlalu terikat dengan kebutuhanijazah formal. Buat kami, banyak pintu menuju dunia profesi yang takharus mengandaikan urutan jenjang pendidikan seperti sekolah. Anak-anaktetap bisa menjadi ahli komputer, grafis, fotografi, dll tanpa harusterpaku pada ijazah formal SD-SMA. Teknologi Internet menjadi kemudahan sekaligus enabler factor yang membuat banyak hal menjadi bisa diraih, dengan standar kualitas internasional.Jika seandainya pun anak-anak ternyata memiliki kecenderungan sekolah(scholar), ada sertifikasi internasional seperti IGCSE (University ofCambridge) atau SAT (US) yang bisa diambil dan dipersiapkan sejak dini.Kalau pemerintah Indonesia memfasilitasi ujian kesetaraan (atau apapunnamanya), itu layak disyukuri. Tetapi, kalau yang itu juga dipersulit,buat kami ya sudah fokus pada solusi saja. Kami tidak ingin fokus padapintu yang tertutup, karena kami selalu yakin bahwa ada pintu yang terbuka.Karena berangkat dari nilai-nilai pribadi dan keluarga, terus terangsaya agak susah menjawab kalau ada yang berkirim email kepada saya dan bertanya: apakah HS cocok untuk saya? Yang pertama, itu adalah hidup Anda sehingga Anda lebih tahu daripada saya. Yang kedua, saya tidak mau mengambil keputusan untuk hidup orang lain.Pelajaran pertama yang saya peroleh saat mulai memikirkan HS adalah:belajar banyak dan mengetahui konsekuensinya. Setelah itu baru prosespengambilan keputusan dan kemudian menjalaninya dengan sebaik-baiknya.Saya selalu percaya, setiap pribadi dan keluarga harus mengambilkeputusan sendiri mengenai yang terbaik untuk hidupnya. Yang bisadiberikan orang lain adalah informasi dan inspirasi.Ini sekedar refleksi saja...


Salam,Aar

Tidak ada komentar: